Selasa, 27 September 2011

GURU SEBAGAI MODEL DALAM PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER, BUDAYA, DAN MORAL


Pendahuluan
Peribahasa yang berbunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” kedengarannya seperti sebuah kontak sosial yang berkecenderungan negatif. Hal yang telah mengakar kuat dan mendarah daging di masyarakat kita ini terjadi karena seorang guru senantiasa di citrakan sebagai orang yang baik, santun, bijaksana dan cerdas. Dengan segudang pencitraan guru yang sedemikian sempurna dan melekat kuat dalam pandangan masyarakat, maka jika sekali saja guru melakukan kekeliruan atau kesalahan, maka akan dianggap suatu kesalahan besar yang akan berdampak terhadap dirinya dan masyarakat. Kesannya kurang adil memang. Diibaratkan stetes nila rusak susu sebelanga. Tuntutan guru begitu kompleks namun pada kenyataanya miskin penghargaan.
Guru merupakan sosok yang memiliki beberapa keunggulan dari profesi lain. Dikatakan demikian, dengan meminjam istilah dari bahasa Jawa guru kepanjangan dari digugu (dipercaya) dan ditiru (dicontoh) adalah sebuah profesi yang patut dijunjung tinggi. Sebagai upaya dari implementasi guru yang notabene digugu dan ditiru tersebut maka sepatutnyalah guru layak menjadi model untuk menuju pendidikan yang berbasis karakter, budaya dan moral dalam mengantarkan anak-anak bangsa menuju bangsa yang maju dan beradab.
Sebenarnya tugas untuk mendidik anak didik menjadi berkarakter bukan tugas guru semata. Akan tetapi, apakah itu Kepala Sekolah,  Staf tata usaha, tenaga kebersihan, sopir maupun satpam, membantu membentuk setiap karakter anak yang berinteraksi langsung atau berhubungan dengan personil-personil tersebut. Hanya saja guru lebih banyak waktunya untuk berinteraksi dengan para anak didik.
Guru merupakan profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan, walaupun kenyataanya tidak sedikit dilakukan oleh orang diluar kependidikan, sehingga oleh karenanya jenis profesi ini paling mudah terkena pencemaran. Salah satu contoh yang dapat diambil dalam kasus ini adalah orang yang berlatar belakang pendidikan hukum atau pertanian, dikarenakan menempuh dan memiliki akta IV akhirnya dapat terjun di dunia pendidikan sebagai guru.
Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup serta mengembangkan karakter individu. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada individu yang menjadi peserta didik. Adapun tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga menjadi idola para peserta didiknya. Pelajaran apa pun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi peserta didiknya dalam belajar. Bila dalam penampilanya sudah tidak menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu kepada para peserta didiknya, mereka akan enggan menghadapi guru yang tidak menarik.

Guru Sebagai Model
Seorang guru yang akan mengembangkan karakter siswa harus menunjukkan bahwa integritas adalah hal yang paling berharga. Guru terlebih dahulu harus berperan sebagai model untuk menyatakan kebenaran, menghormati orang lain, menerima dan memenuhi tanggung jawab, bermain jujur, mengembalikan kepercayaan, dan menjalani kehidupan yang bermoral. Guru harus berperan sebagai model akan pentingnya keterlibatan dalam sebuah pencarian kebenaran yang akan berlangsung seumur hidup sehingga dapat melakukan sesuatu yang benar tidak mudah melakukan sesuatu tindakan yang salah.
Guru sebagai pendidik karakter harus mengajar murid-muridnya sebagai individu-individu yang dapat membuat keputusan berdasarkan proses dan prinsip penalaran moral. Dengan cara membantu para siswa untuk mengetahui tentang apa itu nilai-nilai, percaya pada nilai-nilai sebagai bagian integral dari kehidupannya, dan menjalani kehidupannya sesuai dengan niali-nilai tersebut. Guru dapat memainkan peran penting dalam membantu siswa belajar dan menerapkan proses penalaran moral. Pelajaran di dalam kelas dan melalui interaksi guru-murid di luar kelas harus didasarkan pada kebajikan. Integritas, kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab harus menjadi ciri khas guru dalam hubungannya dengan siswa. Dalam rangka mengembangkan karakter siswa dapat dilakukan melalui pegembangan sikap saling percaya, memelihara saling percaya dan mengembangkan rasa hormat di antara siswa, memperlakukan orang lain dengan penuh hormat dan percaya pada martabat yang melekat pada setiap orang, serta melaksanakan tanggung jawab sebagai guru dengan cara-cara bertanggung jawab secara moral.
Peranan guru dalam membantu proses internalisasi nilai-nilai positif ke dan di dalam diri siswa tidak bisa digantikan oleh media pendidikan secanggih apapun. Hal ini karena pendidikan karakter membutuhkan teladan hidup (living model) yang hanya bisa ditemukan dalam pribadi para guru. Tanpa peranan guru, pendidikan karakter tidak akan pernah berhasil dengan baik. Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah.
Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (domain psikomotor). Proses pembiasaan itu tidak akan mungkin berjalan dengan baik tanpa bantuan guru dan juga orang tua.
Dengan demikian, untuk menyukseskan “proyek” pendidikan karakter, maka tugas guru tidak lagi ringan dan semudah membalikkan tangan. Adalah benar jika saat ini guru dinamakan sebagai profesi. Artinya, guru merupakan orang yang benar-benar pilihan –bukan orang “buangan”. Tidak semua orang bisa jadi guru. Harus melewati beberapa tahapan “penting” sehingga orang tersebut dapat lulus seleksi menjadi guru. Dalam praktiknya, pada saat menjalankan fungsinya, guru dapat memiliki bermacam-macam tugas, seperti mengajar matematika, fisika, bahasa Inggris, pendidikan agama Islam, kesenian, komputer, dan sebagainya. Di sisi lain, guru juga memilki tugas sebagai wali kelas, pembimbing kegiatan ekstrakurikuler. Bahkan, ada juga guru yang merangkap jabatan struktural, seperti kepala sekolah dan wakil kepala sekolah.
Namun, yang perlu diingat adalah tugas-tugas guru di atas seharusnya tidak hanya dipandang sebagai formalitas-birokrasi saja, melainkan guru harus menyadari di balik itu semua menyimpan misi pendidikan karakter yang nyata. Model perilaku dan sikap yang dimiliki guru dalam menjalankan tugas-tugas di atas, secara langsung akan berdampak pada pembentukan karakter siswanya. Sekali lagi, memang tugas guru tidak ringan, apalagi jika seorang guru tersebut menyandang sebagai pendidik yang berkarakter! Ada perbedaan nuansa antara konsep guru sebagai pengajar dan pendidik. Dalam kata pendidik, guru berperan lebih sebagai model bagi pembentuk karakter. Kehadiran, sikap, pemikiran, nilai-nilai, keprihatinan, komitmen, dan visi yang dimilikinya merupakan dimensi penting yang secara tidak langsung mengajarkan nilai yang membentuk karakter siswa.
Seseorang yang berkarakter memiliki kebijaksanaan untuk mengetahui dan membedakan mana yang benar dan mana yang salah; jujur, dapat dipercaya, adil, hormat, dan bertanggung jawab; mengakui dan belajar dari kesalahan; dan berkomitmen untuk hidup menurut prinsip-prinsip ini. Lickona (1991) menunjukkan bahwa karakter adalah penjelasan fenomena universal dari orang-orang yang memiliki keberanian dan keyakinan untuk hidup dengan kebajikan moral. Karakter mencakup berbuat sesuatu menjadi lebih baik dan melakukan yang benar, sementara perilaku tidak etis merupakan antithesis karakter. Setiap kali siswa terjebak dalam permainan emosi, seperti melukai orang lain atau berperilaku curang untuk menang dalam suatu lomba atau pertandingan, tidak akan menjadi baik atau melakukan hal yang tidak benar. Demikian pula, jika siswa menyontek pada saat ujian atau menjiplak tulisan dari koran untuk mendapatkan nilai yang lebih baik, pada hakikatnya tidak memiliki karakter dan dasar moral yang esensial.
Erosi karakter dan perilaku tidak terpuji yang menerpa siswa sebagaimana tersebut di atas merupakan gejala umum yang berlaku di mana-mana, termasuk di Indonesia. Sudah cukup banyak contoh dan perilaku tidak jujur yang dilakukan individu dalam dunia pendidikan, mulai dari siswa yang mencontek, menjiplak hasil karya orang lain tanpa menyertakan sumber, mencari-cari alasan untuk lari dari tanggung jawab atas tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh guru (Koesoema, 2009:183). Kondisi ini menegaskan bahwa para guru yang mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki perhatian dan menekankan pentingnya pendidikan moral dan karakter pada para siswa. Namun di sisi lain perilaku tidak etis yang ditunjukkan oleh siswa tersebut bertolak belakang dengan tanggapannya yang mengakui dan percaya bahwa karakter itu penting.
Menurut Lickona (1991), sekolah dan guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab. Dalam tugasnya sebagai pendidik dan pengajar, guru berinteraksi dengan siswa, sangat penting bagi para guru untuk melayani dan berperan sebagai model pengembang karakter dengan membuat penilaian dan keputusan profesional yang didasarkan pada kebajikan sosial dan moral. Koesoema (2009:134) menegaskan bahwa terlepas dari berbagai macam posisi yang disandangnya, sadar atau tidak, perilaku dan tindakan guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya merupakan wahana utama untuk pembelajaran karakter.
Pendidikan karakter, budaya, dan moral sudah lama didengungkan oleh para pendidik kita dan telah lama juga dirintis oleh Ki Hajar Dewantara dengan tri (3) pusat pendidikannya yang menyebutkan bahwa wilayah pendidikan guna membangun konstruksi fisik, mental, dan spiritual yang unggul dan tangguh dimulai dari; (i) lingkungan keluarga; (ii) lingkungan sekolah; dan (iii) lingkungan sosial. Ketika pendidikan di lingkungan keluarga mulai sedikit diabaikan dan dipercayakan penuh kepada lingkungan sekolah, serta lingkungan sosial yang makin kehilangan kesadaran bahwa aksi mereka pada dasarnya memberikan pengaruh yang besar pada pendidikan seorang individu yang berkembang . Maka lingkungan sekolah (guru) menjadi garda depan dan terakhir  yang terengah-engah memanggul kepercayaan berat tersebut. Orang tua semakin tidak peduli dengan pendidikan anaknya yang semakin hari semakin tergesek oleh lingkungan sosial yang merusak dirinya dan hilangnya rasa hormat kepada guru yang selama ini membimbingnya di sekolah. Mereka lebih menghargai teman yang menurutnya memberikan warna bagi kehidupannya. Sosok yang diyakini mampu memberikan solusi. Walaupun solusi tersebut sebenarnya tanpa disadarinya kadang malah menjerumuskan ia ke arah negatif.
Pendidikan moral yang pada kenyataannya disampaikan secara marjinal. Tanggung jawab pendidikan moral ini dibebankan kepada dua guru bidang studi yakni guru agama dan guru PKN.  Sedangkan dalam realisasinya dua guru bidang studi ini sibuk dengan pencapaian kompetensi yang harus dicapai siswa. Bagaimana dengan tanggung jawab guru yang lain? Guru bidang studi lain bersibuk ria atau lebih-lebih dipusingkan dengan kurikulum dan nilai Ujian Nasional. Pendidikan nasional yang memiliki tujuan mulia disibukkan  dengan berbagai proyek yang pada intinya dapat menghasilkan uang bagi para penentu kebijakan. Para pengambil kebijakan mendapatkan untung sebesar-besarnya dan guru sebagai ujung tombak pendidikan semakin bingung akan dibawa ke mana.
Kebijakan politik kita ternyata lebih banyak bersikap mengatur daripada melindungi profesi penting ini. Negara menuntut berbagai macam kompetensi yang mesti dikuasai oleh guru. Aturan dan perundang-undangan untuk itu begitu banyak. Namun, ketika negara diminta untuk membuat aturan yang melindungi dan menjaga martabat guru, seperti memberikan kepastian tentang jaminan kehidupan minimal, memberikan pembelaan bagi guru ketika profesinya dilecehkan, Negara seperti lepas tangan.
Washington P.Napitupulu (2001) menyatakan bahwa fundamental moralitas dan etika kemanusiaan diterapkan pada setiap profesi dan pada setiap bidang upaya manusia. Pernyataan ini memiliki arti yang sangat penting dan mendalam bahwa sebenarnya tugas sebagai guru bukan hanya mendidik peserta didiknya agar berhasil dalam bidang akademis melainkan guru juga merupakan panutan maupun teladan dari suatu karakter manusia yang baik, memiliki budaya perdamaian dan juga moral yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan manusia dan Tuhannya. Sehingga diharapkan dengan adanya pendidikan karakter, budaya, dan moral, diharapkan tidak ada perkelahian antar pelajar, perkelahian antar mahasiswa, perkelahian antar suku, perkelahian antar agama, dan perkelahian antar tetangga. Adanya budaya malu untuk berbuat  curang, malu menyontek, malu berbuat sesuatu kejahatan, malu untuk korupsi benar - benar tertanam di hati dan pikiran setiap insan Indonesia. Maka dalam rangka mempercepat usaha pembenahan dan perbaikan karakter, budaya, dan moral bangsa Indonesia perlu diadakan kampanye besar-besaran bagi para guru di seluruh Indonesia untuk dapat kembali mendidik para peserta didiknya dengan teladan yang berdasar pada pendidikan karakter, budaya dan moral.
Tentu saja usaha ini akan menjadi isapan jempol belaka jika pemerintah  ataupun stakeholder suatu sekolah tidak ikut berperan serta dalam upaya kampanye besar-besaran perlunya pendidikan karakter, budaya dan moral ataupun hanya dilakukan dalam hitungan jari saja, tetapi hendaknya dilaksanakan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Kampanye pendidikan moral, budaya, dan karakter ini akan lebih bermakna jika pemerintah menjadi lokomotif penggerak dengan memberikan contoh bagi masyarakatnya.
            Ratna Megawangi (Elmubarok, 2009: 111) sebagai pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yang kemudian disebut 9 pilar yaitu: (1) cinta Tuhan dan kebenaran, (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, (3) amanah, (4) hormat dan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, (6) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, dan (9) toleransi dan cinta damai.
Sementara dari 9 pilar yang disebut di atas bila dicermati lebih lanjut, dapat disimpulkan dalam lima aspek. Yakni,  Bagaimana seorang guru menjadi model pengajaran karakter dan keutamaan moral seperti kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggungg jawab di dalam kelas dapat dipaparkan melalui beberapa contoh berikut ini.
Pertama, mengaplikasikan kejujuran. Kebiasaan kejujuran itu diteladankan dalam beragam bentuk, misalnya sejauhmana ia menilai hasil “pekerjaan” siswanya dengan standar yang jelas, tidak mentolerir kebiasaan siswa dalam mencontek dan tidak melakukannya dalam keseharian, serta menyimpan informasi siswa untuk kepentingan profesionalitas semata. Guru dapat juga memaparkan apa maknanya seorang siswa mengerjakan “PR”-nya sendiri dan tepat waktu mengumpulkannya, ia mengapresiasi hasil pekerjaan siswa yang dikerjakannya secara jujur sekalipun belum sepenuhnya diselesaikan. Jujur juga diartikan guru yang selalu menepati janji. Sebenarnya antara menepati janji dengan kejujuran memiliki penekanan dan muatan yang sedikit berbeda. Hanya saja, ketika seorang guru yang telah berjanji dan tidak dapat menepatinya, maka boleh jadi ia telah mengikrarkan dirinya di hadapan siswa sebagai orang yang tidak dapat menyelaraskan antara kata dan perilaku. Guru yang pernah berbohong rasanya sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari para muridnya (Nofrianto, 2008:105).
Kedua, mengajarkan kepercayaan. Menurut Koesoema (2009: 87) Kepercayaan anak memberikan rasa aman dan memberikan jaminan psikologis dalam individu bahwa gagasan perubahan yang sedang dipromosikan itu memang demi perkembangan dan pertumbuhan mereka sebagai guru. Seseorang menemukan rasa nyaman dan merasa enak dengan proses perubahan karena memiliki rasa saling percaya satu sama lain. Seorang guru yang jujur akan dipercaya segenap siswanya. Misalnya, guru menunjukan standar atau rubrik yang jelas untuk penilaian hasil kerja siswanya, ia terbuka dan mengapresiasi setiap kesulitan belajar yang dialami siswanya. Ia lebih sering memotivasi dengan mengatakan “Kamu bisa melakukannya”, ” kamu sekarang lebih maju”, daripada berkomentar “pertanyaanmu sama saja seperti kemarin”, “cobalah bertanya hal baru”. Seberapa sering siswa mendapat dorongan dan pujian guru, dibandingkan celaan dan gerutu? Siswa yang dipercaya gurunya akan merasa aman dan tidak malu maju di depan kelas menjelaskan sesuatu, ia tidak takut akan ditertawakan karena berbuat salah. Dengan dipercaya, siswa tumbuh rasa percayanya diri untuk berkembang lebih jauh.
Ketiga, menularkan perilaku adil. Adil meliputi sifat terbuka, tidak memihak, mau mendengarkan orang lain, dan memiliki empati. Orang yang adil tidak melakukan sesuatu untuk mendapatkan keuntungan dari kesalahan orang lain (Sulhan, 2010: 5). Keadilan lebih dimaknai memberikan sesuatu sesuai kebutuhan siswa. Dalam konteks ini, guru yang mengajar dengan pola yang sama, pendekatan monolog, mengabaikan karakteristik belajar siswa yang beragam justru tidak mengajarkan keadilan. Siswa yang cepat belajar, tidak mesti diperlakukan “sama” dengan yang lambat belajar. Yang lebih penting guru memfasilitasi dengan beragam cara agar keduanya dapat meraih keunggulan sejauh yang bisa mereka capai. Dengan menghormati dan mengakui setiap siswa sebagai pribadi unik sesungguhnya siswa telah merasa diperlakukan secara adil pula.
Keempat, membiasakan sikap hormat. Menghormati orang  lain meliputi perilaku untuk mementingkan kepentingkan umum di atas kepentingan pribadi, siap dengan perbedaan, dan tidak merasa diri paling benar (Sulhan, 2010: 5). Guru menghargai bahwa setiap siswa memiliki perbedaaan latar belakang etnis, ras, gender, status ekonomi, kemampuan akademik, dan karakteristik individu. Guru tidak menilai watak atau karakter, “baik-buruknya” siswa hanya karena perbedaan warna kulit atau suku misalnya. Guru mengapresiasi setiap ketrampilan dan kemampuan yang ditunjukkan siswa secara obyektif. Ketika ia bersikap hormat, sikap hormat dari siswa akan diterimanya pula.
Kelima, menunjukkan sikap tanggungjawab. Sulhan (2010: 5) menyatakan bahwa bertanggung jawab merupakan gabungan dari perilaku  yang dapat dipertanggungjawabkan (accountability). Guru bersikap total dalam menjalankan pengajaran dan tugas-tugas harian. Ia tidak pernah terlambat “mengembalikan” pekerjaan siswa, dan tak lupa memberi feedback secara positif bagi perkembangan siswanya. Ia merasa bersalah dan terus mencari cara ketika pengajarannya tidak dipahami dan dimengerti siswa. Ia akan dengan senang hati dan terbuka menerima serta menanggapi setiap keluhan pembelajaran darimanapun datangnya termasuk siswa dan orang tua. Guru ini selalu berpandangan, ia dan siswanya setara, saling belajar dan memperkaya satu sama lain. (Turmujianto)

2 komentar:

  1. assalamu'alaikum pak..
    pak kalo membangun ikatan dan model karakter, gimana ya pak? masksudnya seperti apa ya pak?

    BalasHapus
  2. Buku-buku yg digunakan untuk refrensi apa saja judulnya pak??
    Saya ingin membacanya

    BalasHapus