Kamis, 16 Februari 2012

Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Novel Siti Nurbaya Berdasarkan Pendekatan Dekonstruksi

A. Landasan Teoretis Dekonstruksi
1. Pendahuluan
David J. McDonald mengacu pada beberapa konsep kunci Derrida, seperti absensi, tambahan, jejak, dan perbedaan, untuk memberikan analisis postrukturalis Hamlet.McDonald menemukan "semiopoetic" tokoh yang menandakan kehadiran/ketidakhadiran sesuatu dari apa-apa yang sedang ditiadakannya. Hamlet adalah permainan perbedaan, sebuah permainan jejak, kata-kata, tanda, penanda menandakan penanda lain tanpa menandakan, dalam kata-kata Derrida. McDonald menemukan tempat sentral dari drama keseluruhan.Oleh karena itu konsep analisis sebelum poststruktural, McDonald berpendapat, persyaratan penting yang ideal untuk menggambarkan permainan "kualitas benda cair dan tak dapat diraba" dan memahami "perubahan tak henti-hentinya dan pertukaran kehadiran mimesis" yang merupakan "sumber vitalitasnya."
Poststrukturalisme berkonsentrasi pada aspek-aspek analisis struktural yang lebih populer disebut sebagai "dekonstruktif": aspek seperti absensi, diskontinuitas, dan perbedaan. Para penulis Post-strukturalis, seperti Derrida, Foucault, Lacan, dan Deleuze dapat dibedakan dari penulis strukturalis, seperti Levi-Strauss, Northrop Frye, dan Piaget, oleh derajat penekanan yang ditempatkan pada Apakah pengertian tentang keberadaan, kontinuitas, dan totalitas. Studi Hamlet berkonsentrasi pada kehadiran atau ketidakhadiran dalam struktur bermain, dan khususnya pada aspek-aspek dari ketidakhadiran yang berhubungan dengan identitas tokoh sentral, atau karakter, dan keterkaitan angka-angka dalam pengembangan Analisis plot.
Pola dengan urutan logis dari absensi disusun dari sembilan kategori progresif mengikuti perkembangan plot dari awal sampai tengah ke akhir atau dari premis ke kesimpulan.Ada tiga utama atau utama kategori, dan enam kategori kecil.Kategori kecil dibagi ke dalam tiga katalitis dan tiga tahap `peripetal`. Kategori-kategori utama adalah: perbedaan (differance), pelengkap, dan dekonstruksi. Kategori katalitik adalah: perbedaan (difference), merek, dan penghapusan. Kategori peripetal adalah: penangguhan, substitusi, dan jejak.
Differance, pelengkap, dan dekonstruksi adalah tiga kategori utama dalam Derridean atau analisis "dekonstruktif".Differanceadalah istilah Derrida untuk menyarankan "Interval," atau "jarak," di antara kehadiran dan ketidakhadiran, penanda dan petanda, atau, lebih teknis, jejak yang memungkinkan untuk membedakan dua fonem, sehingga " ruang "yang membuat bahasa.Pelengkap adalah istilah Derrida untuk imajinasi, untuk tanda dan sistem bahasa yang menggantikan atau pengganti itu sendiri, untuk kekurangan dari asal dalam perbedaan.Dekonstruksi adalah.prosestersembunyi dalam upaya untuk melengkapi sebuah penanda yang ditandakan absen: sistem dekonstruksi bahkan seperti yang dibangun.Tidak ada awal atau akhir yang mutlak, melainkan pengulangan abadi awal seluruh sistem tekstual.
Differance, seperti yang didefinisikan oleh Derrida, dekonstruksi menjadi dua istilah: perbedaan dan penangguhan. Differance, fase pembukaan dari bentuk dekonstruktif drama, berfokus pada rasa diskontinuitas dan pembagian pada saat-saat pembukaan bermain. Penangguhan berfokus pada proses peripetal atau reversal keterlambatan dan penyimpangan dalam tahap kedua. Urutan Tambahan yang dibangun ke tahap tanda dan pengganti.Petanda adalah fase awal lagi, suatu diskontinuitas baru, pintu masuk agen katalitik atau kehadiran yang menandakan kemungkinan pembalikan besar.Tahap substitusi adalah fase dari pembalikan besar atau bergeser ke sebaliknya ke ganda atau menggantikan untuk yang asli tidak ada.Dekonstruksi itu sendiri dibangun menjadi dua istilah, penghapusan dan jejak.Penghapusan merupakan konsekuensi menjadi digantikan hilangnya identitas, fase hilangnya atau sparagmos. Jejak adalah fase peripetal akhir drama, dari apa yang tersisa setelah penghapusan, tahap awal lagi, kehadiran simulacrum, sebuah pengakuan ketiadaan di jantung differance dan mimesis.
Sementara dipihak lain Guetti Sama seperti halnya dengan Paul de Man yang membuka analisisnya tentang "antara Sekolah Anak" dengan mengambil pembicara "retorika" pertanyaan "harfiah". Guetti mengusulkan untuk membaca pertanyaan Keats untuk guci yang "bukan sebagai seruan retorika tetapi sebagai ketulusan dan mendesak permintaan untuk informasi. ""Hal ini karena ia tidak mengerti guci, tidak tahu cara membaca pesan sekali disampaikan ... yang Keats harus menanggapi sebagai apa jari akan memanggil sebuah 'objek estetika.'" Puisi ini, kemudian, bukan merupakan deskripsi guci tetapi gambaran dari upaya untuk "membaca" guci tersebut. Konflik antara tata bahasa dan retorika, atau bahasa figuratif, bahwa angka-angka di de Man "semiologi dan Retorika" dan pengulangan dalam "Melawan yang Estetis" sebagai konflik antara estetika dan sastra, adalah pusat untuk Guetti's membacapostruktural. Seperti de Man, ia melakukan analisis formal, pembacaan dekat, tetapi dia mengharapkan teks untuk menolak usaha-usaha menyatukan maknanya.Dengan demikian Guetti menentang Cleant’Brooks's yang menyelaraskan formalisme satu analisa dengan postruktural"baik perlawanan estetika sastra dan perlawanan sastra untuk 'solusi' estetika atau pengelakan.
Di lain pihak argumentasi Yaeger bahwa caranya menemukan membaca novel ini gaya transgresif benar, atau menganugerahkan itu. Tetapi perbedaan genetik adalah sedikit perhatian untuk kebanyakan kritikus postruktural..Dan jika Yaeger adalah seorang kritikus budaya dalam minatnya dalam jenis karya budaya novel dapat dibuat untuk dilakukan, dalam kesempatan ini menawarkan pada kita "untuk membangun citra baru utopis munculnya anti perempuan."Dia seorang kritikus poststruktural dalam desakan bahwa konsepsi novel bahasa adalah kunci untuk artinya.Mendukung pada karya Michel Foucault, Julia Kristeva, Jean Francois Lyotard, dan Jacques Lacan, ia melengkapi analisis postruktural dari novel yang berpusat pada bahasa yang sangat kekurangan membuatnya satu-satunya kendaraan yang memadai.
2. Teori Dekontruksi
Istilah dekonstruksionis merupakan gerakan yang luas dansempit akal. Dalam arti yang luas itu nama suatu gerakan yang membentangjauh melampaui kritik sastra. Dekonstruksi adalahsebuah semboyandalam politik, sejarah ilmu pengetahuan dan hukum, serta dalam studi literatur (Selden, 2008:175).
Derrida menggunakan dekonstruksi kritis yang mengarah pada penemuan sastra retoris, sifat filosofis klaim kebenaran asli cukup dan tidak dapat membantah: literatur ternyata menjadi topik utama filsafat dan modeluntuk jenis kebenaran yang bercita-cita. Filsafat ternyata menjadi tak berujungrefleksi pada kehancuran sendiri di tangan sastra (Selden, 2008:180).
Ariachne(Selden, 2008:186)menuturkan bahwa'dekonstruksi' sebagai prosedur dalam menafsirkan teks-teks tradisi kitabukan hanya menggoda dari jejak-jejak yang heterogenitas dialogis. Dekonstruksi bukan upaya untuk membalikkan hirarki implisit dalamistilah di mana dialogis telah ditentukan. Ia mencoba untuk mendefinisikanmonologis, yang logocentris, sebagai efek yang berasal dari dialogis daripadasebagai penegasan mulia yang dialogis merupakan gangguan, keduabayangan dalam cahaya berasal.
Suroso dan kawan-kawan menjelaskan bahwa kaum poststrukturalis, sekelompok kritikus di Universitas Yale, Amerika Serikat, dengan tokohnya Paul de Man dan J. Hillis Miller, secara tegas menolak pandangan New Criticism.Mereka ingin mendekonstruksikan teks, lalu merekontruksi sebuah teks baru. Mereka berpendapat bahwa:
1. Teks tidaklah mencerminkan kenyataan, tetapi teks membangun kenyataan. Bahasa tidak menghadirkan kenyataan (latar, peristiwa atau kejadian, dan perbuatan tokoh), tetapi bentuk-bentuk bahasa menghadirkan latar, peristiwa, dan perbuatan tokoh hanya dalam angan-angan kita;
2. Sebuah teks merupakan suatu tenunan yang tersusun dari berbagai utas benang. Apabila kita hanya mengikuti satu utas benang, kita mendapatkan kesimpulan yang keliru. Tetapi juga, apabila kita mengikuti berbagai utas benang, kita tidak dapat menentukan arti yang definitif. Kritik menuju ke aporia (bahasa Yunani: ‘tidak ada jalan keluar’), artinya kita tidak mengetahui secara pasti apa jalan ke luarnya, seperti jaringan labirint (terowongan-terowongan gelap dalam sebuah gua). Kritikus tidak menunjukkan jalan ke luar, malahan mengantar kita ke dalam perut bumi sehinggatidak tahu jalan keluarnya. Artinya, hasil kritikan sastra itu justru membingungkan pembaca.
Dekonstruksi mewarnai teori-teori kontemporer, seperti: resepsi sastra, interteks, feminisme, postkolonialisme, dan naratologi postrukturalisme. Ciri khas postrukturalisme adalah dekonstruksi, strukturalisasi sekaligus penyempurnaan terhadap sifat-sifat laten strukturalisme. Strukturalisasi teks kaitannya dengan peranann pembaca, maka dekonstruksi identik dengan resepsi sastra.Pemahaman teks dalam kaitannya dengan ciri-cirinya sebagai jaringan, dekonstruksi identik dengan interteks.Apabila teks dikaitkannya dengan perempuan dan masalah-masalah kolonial, maka dekonstruksi identik dengan feminis dan postkolonial.Demikian juga apabila teks dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, dekonstruksi identik dengan naratologi postrukturalis (Ratna, 2010: 221).
Lebih lanjut Ratna (2010: 223) menyatakan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif.Dimaksudkan bukan dalam pengertian negative sebab tujuan utama tetap konstruksi. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi bukan semata-mata ditujukan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu.Dekonstruksi tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif men-transformasikan hakikat wacana.
Dekonstruksi menolak kemapanan.Menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan makna. Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah kelebihan Dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu objek tanpa batas.Ruang makna terbuka luas. Tafsiran-tafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya.Sehingga, demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekontruktivisme dianggap era matinya makna.Makna menjadi tidak berarti lagi.
Itulah kelemahan Dekonstruksi Derrida. Kelemahan lain adalah:
1. Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi makna. Retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat mengurangi nilai dan obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk ditelaah.
2. Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan apatisme dan ketidakpercayaan terhadap makna.
3. Dekonstruksi tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasa-biasaan pemaknaan dapat dicegah.
Tidak adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil penghancuran makna karena makna-makna baru dianggap lebih bernilai.Padahal, makna-makna lama bukan tidak mungkin justru memberi nilai tambah bagi makna-makna baru.
3. Kebenaran Epistemologis dalam Metode Dekonstruksi
Sebagai upaya metodologis metode dekonstruksi harus memiliki kriteria kebenaransecara epistemologis agar apa yang dilakukannya memiliki keabsahan secara ilmiah.Keabsahan ilmiah pada metode dekonstruksi diawali dengan analisis yang sifatnyasistematis, logis, dan kritis.Ini berarti posisi peneliti memegang peran penting dalampenelitian sastra. Peneliti harus memiliki paradigma (pola berpikir) dan cara berpikirkualitatif (dan kuantitatif apabila diperlukan), induksi–deduksi, rekonstruksi teori(Budianto, 2002: 81). Mengapa harus demikian?Dengan menggunakan metodedekonstruksi, peneliti harus dapat memiliki wawasan atau persepsi ilmiah yang bersifatkomprehensif. Paradigma kualitatif mengajak kita memahami situasi sosial budaya atausituasi lainnya agar diperoleh nilai (values) dan norma tentang situasi tersebut,seperti nilaiestetis, moral, harmoni, kebebasan, konflik dan norma politis, kekuasaan, dan ideologis.Paradigma induktif dan deduktif diperlukan agar keruntutan pemikiran seorang penelitidapat memiliki penalaran (reasoning) yang logis, dapat berpikir secara induktif(mengambil kesimpulan dari premis khusus ke premis umum) dan secara deduktif (menarikkesimpulan dari premis umum ke premis khusus).Paradigma rekonstruksi teori adalahmodel penyelidikan ilmiah yang berusaha membangun, merancang kembali (rekonstruksi)teori atau metode yang telah ada dan digunakan dalam penelitian.Agar modelrekonstruksi teori dapat diterapkan dengan baik, pemilihan dan penguasaan teori tertentuyang dianggap relevan dengan penelitian sangat menunjang keberhasilan penelitiannya.
Ketiga paradigma dasar itu dapat dipakai sebagai model penyelidikan peneliti danmenjadi dasar bagi metode dekonstruksi poststrukturalisme. Metode dekonstruksimembutuhkan cara berpikir peneliti yang komprehensif dan mampu bersikap multidisiplin.Latar belakang, dan situasi sebuah teks sangat beragam dan kompleks.Untuk itu, penelitimembutuhkan pemahaman dan analisis yang komprehensif, khususnya yang berkaitandengan penerapan teori yang terfokus dengan ketiga hal (tulisan, metabahasa,subjektivitas).Dengan demikian, pengukuran kebenaran dalam penerapan metodedekonstruksi terhadap karya sastra terletak pada sistem pembenaran (teori) yang dipakaisehingga pemaknaan dapat diperoleh secara objektif dan kontekstual.Hal itu dapat dibantupada saat pembacaan terhadap teks. Kita dapat terfokus, misalnya, pada (1) karakteristikhierarki (2) pencarian “titik dasar” teks apabila ada suatu proses perubahan pada alurcerita (3) pembentukan norma tertentu apabila terjadi perubahan pada subjek/pelaku cerita(4) pencarian referensi lain di luar isi teks (5) minat mencari hal yang berkaitan dengansubstansial tertentu, misalnya konflik, kontradiksi atau yang dianggap agak berbeda ketikahal itu muncul pada teks, baik secara implisit maupun eksplisit.
B. Model Pembelajaran
1. Orientasi Model
Pembelajaran berdasarkan masalah telah dikenal sejak zaman John Dewey, sebab secara umum pembelajaran berdasarkan masalah terdiri atas menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Menurut Dewey (Trianto, 2007:67), belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respons, merupakan hubungan antara dua arah, belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik. Pengalaman siswa yang diperoleh dari lingkungan akan menjadikan kepadanya bahan dan materi guna memperoleh pengertian dan bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajarnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, pembelajaran berdasarkan masalah (selanjutnya disingkat PBM) didasarkan pada teori psikologi kognitif. Fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa (perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka) pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Walaupun peran guru pada pembelajaran ini kadang melibatkan presentasi dan penjelasan suatu hal, namun yang lebih lazim adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa belajar untuk berpikir dan memecahkan masalah.
PBM juga didasarkan pada konsep konstruktivisme yang dikembangkan oleh ahli psikologi Eropa Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus-menerus berusaha memahami dunia sekitarnya. Rasa ingin tahu ini memotivasi mereka untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang mereka hayati (Ibrahim dan Nur, 2005:16-17). Pandangan konstruktivis-kognitif mengemukakan, siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan mereka tidak statis, tetapi terus-menerus tumbuh dan berubah saat siswa menghadapai pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal. Menurut Piaget, pendidikan yang baik harus melibatkan siswa dengan situasi-situasi yang dapat membuat anak melakukan eksperimen mandiri, dalam arti mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang ia temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain, membandingkan temuannya dengan temuan anak lain (Duckworth, dalam Ibrahim dan Muh. Nur, 2005: 17-18).
Ratumanan (Trianto, 2007) menyatakan PBM juga merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks.
Menurut Arends (Trianto, 2007:68), PBM merupakan pembelajaran yang menuntut siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Model pembelajaran ini juga mengacu pada model pembelajaran yang lain, seperti pembelajaran berdasarkan proyek (project-based instruction), pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-based instruction), belajar otentik (authentic learning), dan pembelajaran bermakna (anchored instruction).
PBM juga bergantung pada konsep lain dari Bruner, scaffolding, yaitu suatu proses yang membuat siswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan (scaffolding) dari seorang guru atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih. Peran dialog juga penting, interaksi sosial di dalam dan di luar sekolah berpengaruh pada perolehan bahasa dan perilaku pemecahan masalah anak.
Sementara itu, PBM mempunyai kaitan erat dengan pembelajaran penemuan (inkuiri). Pada kedua model ini guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif, dan siswa menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Adapun perbedaannya dalam beberapa hal penting, yaitu: sebagian besar pelajaran dalam inkuiri didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan berdasarkan disiplin, dan penyelidikan siswa berlangsung di bawah bimbingan guru dan terbatas di lingkungan kelas. PBM dimulai dengan masalah kehidupan nyata yang bermakna, yang memberi kesempatan kepada siswa dalam memilih dan menentukan penyelidikan apa pun baik di dalam maupun di luar sekolah sejauh itu diperlukan untuk memecahkan masalah (Ibrahim dan Muhammad Nur, 2005: 23).
2. Model Mengajar
a. Sintaksis
PBM terdiri atas 5 (lima) langkah utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima langkah tersebut dijelaskan sebagai berikut.
TAHAP TINGKAH LAKU GURU
1. Orientasi siswa pada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih
2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
3. Membimbing penyelidik-an individual maupun kelompok Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
5. Menganalisis dan meng-evaluasi proses pe-mecahan masalah Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan

Menurut Ibrahim (Trianto, 2007:72) di dalam kelas PBM, peran guru berbeda dengan kelas tradisional. Peran guru dalam kelas PBM antara lain: (1) mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik, yaitu masalah kehidupan nyata sehari-hari; (2) memfasilitasi/membimbing penyelidikan, misalnya melakukan pengamatan atau melakukan eksperimen; (3) memfasilitasi dialog siswa; dan (4) mendukung belajar siswa.
b. Sistem Sosial
Pada model pembelajaran berdasarkan masalah dibutuhkan pengembangan keterampilan kerja sama di antara siswa dan saling membantu untuk menyelidiki masalah secara bersama. Berkenaan dengan hal itu, siswa memerlukan bantuan guru untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas pelaporan.
c. Prinsip Reaksi
Guru membantu siswa dalam pengumpulan informasi dari berbagai sumber dengan jalan diberikan berbagai pertanyaan yang membuat mereka berpikir tentang suatu masalah dan jenis informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut.
Guru mendorong untuk pertukaran ide secara bebas dan penerimaan sepenuhnya ide-ide tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam tahap penyelidikan dalam rangka pembelajaran berdasarkan masalah. Selama penyelidikan, guru memberikan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas siswa. Puncak-puncak proyek PBM adalah penciptaan dan peragaan artifak seperti laporan, poster, model-model fisik, dan video tape.
d. Sistem Penunjang
Hal penting yang harus diketahui adalah bahwa guru perlu memiliki seperangkat aturan yang jelas agar pembelajaran dapat berlangsung tertib tanpa gangguan. Di samping itu, juga agar dapat menangani siswa yang menyimpang secara cepat dan tepat, serta panduan bagaimana mengelola kerja kelompok. Salah satu masalah yang cukup rumit adalah bagaimana guru harus menangani siswa (individu maupun kelompok) yang menyelesaikan tugas lebih awal maupun yang terlambat.
Selain itu, guru sering menggunakan sejumlah bahan dan peralatan, dan hal ini biasanya dapat merepotkan dalam pengelolaaannya. Oleh karena itu, untuk efektivitas kerja, guru harus memiliki aturan dan prosedur yang jelas dalam pengelolaan, penyimpanan, dan pendistribusian bahan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah guru harus menyampaikan aturan, tatakrama/sopan santun yang jelas untuk mengendalikan tingkah laku siswa ketika mereka melakukan penyelidikan di luar kelas, terlebih ketika melakukan penyelidikan di masyarakat.
e. Dampak Instruksional dan Penyerta
Setelah mengikuti pembelajaran ini diharapkan (1) siswa mampu menyelesaikan masalah secara sistematis dan logis, (2) perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor melalui penghayatan secara internal akan problem yang di hadapi.
Hasil-hasil penelitian tentang pemecahan masalah yang dipraktikan dalam kelas dengan masalah berstruktur ill-defined memberikan dampak-dampak sebagai berikut. (1) Penemuan masalah dapat meningkatkan kreativitas. (2) Memotivasi siswa yang menjadikan belajar terasa menyenangkan. (3) Masalah dengan struktur ill-defined membutuhkan keterampilan yang berbeda dengan masalah yang berbentuk standard-problem. (4) Mendorong siswa memahami dan memperoleh hubungan-hubungan masalah dengan disiplin ilmu tertentu. (5) Informasi yang masuk ke dalam memori jangka panjang lebih diperkuat dengan menggunakan masalah yang berstruktur ill-defined (Krulik & Rudnick, 1996).
C. Contoh Penerapan Model Pembelajaran Novel Berdasarkan Pendekatan Dekonstruksi
Perencanaan:
Novel merupakan salah satu genre sastra, selain puisi, cerpen, dan drama. Dalam novel terdapat berbagai nilai kehidupan yang sengaja dihadirkan pengarang. Sebagai pembaca kita harus dapat mengungkapkan nilai-nilai tersebut, agar kita dapat meneladaninya.
Berangkat dari kenyataan yang ada di masyarakat, masih banyak kita temukan seorang gadis yang terpaksa atau dipaksa oleh keadaan atau alasan apa pun, untuk menikahi seseorang yang tidak dicintainya. Kenyataan ini telah tergambar dalam novel Siti Nurbaya.
Dalam hal ini guru sudah merencanakan masalah yang harus dipecahkan siswa yang terkait dengan nilai-nilai yang terkandung dalam novel Siti Nurbaya. Guru sudah memberi tugas kepada siswa untuk membaca novel tersebut maksimal 2 minggu sebelumnya. Guru juga sudah memfasilitasi siswa dengan menunjukkan novel tersebut di perpustakaan sekolah. Dengan demikian, siswa sudah mempunyai gambaran terinci tentang isi novel tersebut.
Tugas Interaktif
Langkah ini terdiri atas 5 (lima) tahap sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu:
Tahap 1: Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yakni mengajak siswa untuk memecahkan berbagai permasalahan melalui pertanyaan yang diajukan berdasarkan isi novel Siti Nurbaya. Pertanyaan tersebut meliputi:
a. Menurut kalian, tema apakah yang terdapat dalam novel Siti Nurbaya?
b. Jika kalian menjadi Siti Nurbaya, layakkah kalian melakukan perkawinan dengan Datuk Maringgih?
c. Dalam benak kalian, Siti Nurbaya itu sosok yang bagaimanakah? Lemah dan patut dikasihani ataukah sebaliknya, dia adalah pahlawan bagi keluarganya?
d. Nilai-nilai apa yang dihadirkan dari tokoh Siti Nurbaya?
e. Gambarkan bagaimana perasaan kalian seandainya kalian menjadi Siti Nurbaya ketika itu. Kalian boleh memerankan salah satu bagian perasaannya di depan kelas. Boleh juga kalian mengungkapkannya secara tertulis.
Dengan lima pertanyaan tersebut, diharapkan siswa memahami masalahnya. Dan agar siswa dapat memahami tugas-tugas atau pertanyaan atau masalah tersebut, guru berusaha memfasilitasi keperluan siswa, termasuk jika ada siswa yang belum memahami dengan baik tugas-tugas mereka. Dengan demikian diharapkan semua siswa merasa terlibat dalam masalah yang dihadapi oleh tokoh dalam novel itu.
Tahap 2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Dalam tahap ini guru membantu siswa untuk membahas adanya tema dan tokoh (utama dan pembantu) dalam novel yang bernama Siti Nurbaya, yang memiliki sifat atau karakter tertentu. Siswa juga diajak membicarakan peristiwa yang dialami oleh Siti Nurbaya yang membuat dia harus menikahi Datuk Maringgih. Peristiwa itu melahirkan cerita yang dalam novel disebut alur atau plot, yang akhirnya juga melahirkan setting, yaitu tempat terjadinya peristiwa tersebut. Tema, tokoh, karakter, plot, dan setting itu dalam karya sastra disebut unsur intrinsik yaitu unsur yang terdapat dalam karya, unsur yang membangun cerita.
Selanjutnya guru mengajak siswa untuk membentuk kelompok agar dapat mendiskusikan berbagai masalah tersebut.
Tahap 3: Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai. Dalam hal ini siswa diberi kebebasan untuk membaca ulang novel tersebut, dan menemukan bagian-bagian tertentu yang mendukung pendapat mereka. Penemuan mereka atas bagian-bagian ini didasarkan pada diskusi yang mereka lakukan dalam kelompok.
Selain itu, dalam kelompok maupun secara individu, guru juga dapat memberikan motivasi mereka untuk melaksanakan eksperimen. Tentu yang dimaksudkan adalah bukan eksperimen di laboratorium, melainkan melakukan pembuatan laporan tertulis ataukah pelatihan-pelatihan yang terkait dengan peran mereka sebagai tokoh Siti Nurbaya. Pendapat mereka tentang sosok Siti Nurbaya dapat mereka putuskan melalui wawancara terhadap pembaca yang lain, misalnya kepala sekolah, guru-guru, atau mungkin kakak kelas.
Tahap 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Dalam hal ini siswa dibimbing untuk menentukan bentuk akhir karya mereka, secara tertulis ataukah bermain peran di depan kelas. Jika mereka memilih memerankan tokoh maka mereka juga harus menunjuk anggota kelompoknya yang akan mewakili. Pemeranan ini didasarkan pada pendapat mereka tentang sosok Siti Nurbaya.
Jika sudah ditentukan bentuk akhirnya, siswa diberi kesempatan untuk membacakan laporannya yang telah ditulis atau memerankan sosok Siti Nurbaya di depan kelas. Pembacaan atau pemeranan dilakukan secara bergantian.
Tahap 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Yang harus dicatat adalah bahwa ketika wakil dari kelompok menyampaikan hasil akhir diskusi mereka, kelompok lain harus memberikan penilaian tentang berfbagai pendapat yang telah disampaikan. Langkah ini penting, agar setelah kegiatan tersebut, guru bersama siswa dapat melakukan refleksi atau evaluasi. Idealnya, guru sudah mempersiapkan kisi-kisi atau format penilaian terlebih dahulu agar siswa dapat memberikan penilaian secara lebih terarah dan objektif. Analisis dan evaluasi sangat penting untuk menentukan keberhasilan siswa dalam memecahkan permasalahan dan untuk melihat kekurangan-kekurangannya agar dapat dijadikan pedoman dalam perbaikannya.
Lingkungan Belajar dan Tugas-tugas Manajemen
Dalam pelaksanaan PBM ini guru harus menerapkan beberapa aturan antara lain.
1. Siswa secara individu sudah harus membaca novel Siti Nurbaya
2. Secara individu pula, siswa harus membuat rangkuman isi novel Siti Nurbaya
3. Siswa diberi kebebasan untuk memilih teman sebagai anggota kelompoknya. Namun, jika tidak memungkinkan karena berbagai hal, guru dapat menentukan kelompok dan anggotanya.
4. Siswa diberi kebebasan untuk memilih cara memecahkan masalah yang diajukan, misalnya melakukan pembacaan ulang novel atau melakukan wawancara, termasuk pembagian tugas kelompok (Dalam hal ini guru hanya memotivasi, bukan ikut campur)
5. Siswa yang akan melakukan wawancara harus sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan mewawancarai dengan baik sesuai dengan etika berwawancara.
6. Siswa diberi kebebasan untuk menentukan bentuk akhir tugasnya, tertulis (berupa laporan) ataukah pemeranan tokoh. Penentuan berdasarkan hasil diskusi kelompok.
7. Siswa harus menyampaikan hasil akhir sesuai waktu yang telah ditentukan guru. Kelompok yang tepat waktu akan diberikan penghargaan, kelompok yang terlambat akan diberikan sanksi yang tidak memberatkan.
8. Siswa harus melakukan penilaian dan refleksi terhadap hasil akhir temannya berdasarkan format penilaian yang disiapkan guru.
9. Siswa yang meminjam berbagai bahan atau sumber dari perpustakaan sekolah berkewajiban menjaga sebaik-baiknya dan mengembalikannya segera setelah tugas berakhir.
10. Kelompok atau individu yang mendapatkan nilai tertinggi akan diberi penghargaan khusus, sesuai dengan situasi dan kondisi.
Evaluasi
Sebagaimana telah dijelaskan dalam tahap-tahap pelaksanaan pembelajaran di atas, tampak bahwa PBM tidak mengutamakan perhatian pada pengetahuan deklaratif. Oleh karena itu penilaian yang dipilih bukan berupa tes tertulis yang memenuhi ranah kognitif saja. Teknik penilaian yang dipilih adalah menilai hasil pekerjaan siswa yang merupakan hasil diskusi atau penyelidikan mereka, melalui penilaian kinerja dan peragaan hasil.
Kunci jawaban: (Sebagai contoh jawaban perkiraan siswa)
Sebagian besar kita beranggapan bahwa tema dasar novel Siti Nurbaya adalah kawin paksa. Dengan demikian citra yang dihadirkan pembaca terhadap tokoh utama (Siti Nurbaya) adalah perempuan lemah, memelas, perlu dikasihani, dan sebagainya. Namun, jika kita simak lebih saksama maka akan terungkap nilai-nilai luhur yang dicontohkan. Pertama, pengorbanan seorang anak terhadap kepentingan keluarganya. Demi menjaga kehormatan ayahnya yang tenggelam dalam hutang, Siti Nurbaya menikahi Datuk Maringgih. Kedua, di saat ayah Nurbaya tiba-tiba wafat, dia secara fisik melemparkan suaminya keluar rumah sesuai hukum adat setempat adalah milik isteri. Dengan demikian, ia rela mengorbankan kepentingan pribadinya demi kehormatan keluarganya, tetapi dengan tegas dia melaksanakan apa yang menjadi haknya bila saatnya tiba. Tentu saja pembahasan ini akan menimbulkan berbagai pendapat yang menarik untuk didiskusikan.
Catatan: Jawaban siswa bisa berbeda atau mirip dengan jawaban di atas. Yang dipentingkan adalah alasan atau argumen yang disampaikan siswa dalam hal mendukung pendapat mereka.

Daftar Pustaka
Arends, R.I. 2007. Classroom Instruction and Management. New-York: McGraw-Hill.

Asrori. M. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima

Benedikt, M. 1991.Deconstructing The Kimbell: An Essay on meaning and Architecture, New York: Site Books.
Budianto, I.M.2002.Realitas dan Objektivitas. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Johnson, E. B., 2007. Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiattan Belajar-mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: MLC
Ibrahim, M., dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
Ibrahim dan Nur, M. 2005. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press.
K. Given, Barbara. 2007. Brain-Based Teaching: Merancang Kegiatan Belajar-Mengajar yang Melibatkan Otak Emosional, Sosial, Kognitif, Kinesttetis, dan Reflektif. Bandung: Kaifa
Khabibah, S. 2006. “Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Soal Terbuka untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa MI” .Disertasi. Surabaya: Program Pascasarjana Unesa.

Keesry, D. 1994. Context for Criticism. USA Mountain View: Mayfield Publishing Company.

Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1996.The new sourcebook for teacing reasoning and problem solving in Junior and Senior High School. Boston: Allyn and Bacon.

Komarudin. 2005. “Langkah-langkah Praktik Belajar Pengetahuan Sosial/Pembelajaran Portofolio”. Makalah Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Fasilitator Guru Bidang Studi IPS MTs Tingkat Nasional, Diselenggarakan oleh Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI.
Marineau, C. 1999. “Self-Assessment at Work: Self-Outcomes of Adult Learner’s Reflection on Practise”. Adult Education Quarterly. Spring.
Oemarjati, B.S. 1996. “Dengan Sastra Mencerdaskan Siswa” dalam Sumardi (ed). Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ratna, N.K. 2010.Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Sanjaya, W. 2010.Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana

Selden, R. 2008. The Cambridge History of Literary Criticism from Formalism to Poststructuralism. United Kingdom: Cambridge University Press.

Suroso, dkk. 2009. Kritik Sastra (Teori, Metodologi, dan Aplikasi). Jogjakarta: Elmatera Publishing

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya: Prestasi Pustaka Publisher.
Woods, D. 1985. “Problem-Based Learning and Problem Solving” in D. Boud (ed). Problem-Based Learning for Professions. Sydney: HERDSA.

http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/20/kritik-teori-dekonstruksi-derrida/