Kamis, 16 Februari 2012

Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Novel Siti Nurbaya Berdasarkan Pendekatan Dekonstruksi

A. Landasan Teoretis Dekonstruksi
1. Pendahuluan
David J. McDonald mengacu pada beberapa konsep kunci Derrida, seperti absensi, tambahan, jejak, dan perbedaan, untuk memberikan analisis postrukturalis Hamlet.McDonald menemukan "semiopoetic" tokoh yang menandakan kehadiran/ketidakhadiran sesuatu dari apa-apa yang sedang ditiadakannya. Hamlet adalah permainan perbedaan, sebuah permainan jejak, kata-kata, tanda, penanda menandakan penanda lain tanpa menandakan, dalam kata-kata Derrida. McDonald menemukan tempat sentral dari drama keseluruhan.Oleh karena itu konsep analisis sebelum poststruktural, McDonald berpendapat, persyaratan penting yang ideal untuk menggambarkan permainan "kualitas benda cair dan tak dapat diraba" dan memahami "perubahan tak henti-hentinya dan pertukaran kehadiran mimesis" yang merupakan "sumber vitalitasnya."
Poststrukturalisme berkonsentrasi pada aspek-aspek analisis struktural yang lebih populer disebut sebagai "dekonstruktif": aspek seperti absensi, diskontinuitas, dan perbedaan. Para penulis Post-strukturalis, seperti Derrida, Foucault, Lacan, dan Deleuze dapat dibedakan dari penulis strukturalis, seperti Levi-Strauss, Northrop Frye, dan Piaget, oleh derajat penekanan yang ditempatkan pada Apakah pengertian tentang keberadaan, kontinuitas, dan totalitas. Studi Hamlet berkonsentrasi pada kehadiran atau ketidakhadiran dalam struktur bermain, dan khususnya pada aspek-aspek dari ketidakhadiran yang berhubungan dengan identitas tokoh sentral, atau karakter, dan keterkaitan angka-angka dalam pengembangan Analisis plot.
Pola dengan urutan logis dari absensi disusun dari sembilan kategori progresif mengikuti perkembangan plot dari awal sampai tengah ke akhir atau dari premis ke kesimpulan.Ada tiga utama atau utama kategori, dan enam kategori kecil.Kategori kecil dibagi ke dalam tiga katalitis dan tiga tahap `peripetal`. Kategori-kategori utama adalah: perbedaan (differance), pelengkap, dan dekonstruksi. Kategori katalitik adalah: perbedaan (difference), merek, dan penghapusan. Kategori peripetal adalah: penangguhan, substitusi, dan jejak.
Differance, pelengkap, dan dekonstruksi adalah tiga kategori utama dalam Derridean atau analisis "dekonstruktif".Differanceadalah istilah Derrida untuk menyarankan "Interval," atau "jarak," di antara kehadiran dan ketidakhadiran, penanda dan petanda, atau, lebih teknis, jejak yang memungkinkan untuk membedakan dua fonem, sehingga " ruang "yang membuat bahasa.Pelengkap adalah istilah Derrida untuk imajinasi, untuk tanda dan sistem bahasa yang menggantikan atau pengganti itu sendiri, untuk kekurangan dari asal dalam perbedaan.Dekonstruksi adalah.prosestersembunyi dalam upaya untuk melengkapi sebuah penanda yang ditandakan absen: sistem dekonstruksi bahkan seperti yang dibangun.Tidak ada awal atau akhir yang mutlak, melainkan pengulangan abadi awal seluruh sistem tekstual.
Differance, seperti yang didefinisikan oleh Derrida, dekonstruksi menjadi dua istilah: perbedaan dan penangguhan. Differance, fase pembukaan dari bentuk dekonstruktif drama, berfokus pada rasa diskontinuitas dan pembagian pada saat-saat pembukaan bermain. Penangguhan berfokus pada proses peripetal atau reversal keterlambatan dan penyimpangan dalam tahap kedua. Urutan Tambahan yang dibangun ke tahap tanda dan pengganti.Petanda adalah fase awal lagi, suatu diskontinuitas baru, pintu masuk agen katalitik atau kehadiran yang menandakan kemungkinan pembalikan besar.Tahap substitusi adalah fase dari pembalikan besar atau bergeser ke sebaliknya ke ganda atau menggantikan untuk yang asli tidak ada.Dekonstruksi itu sendiri dibangun menjadi dua istilah, penghapusan dan jejak.Penghapusan merupakan konsekuensi menjadi digantikan hilangnya identitas, fase hilangnya atau sparagmos. Jejak adalah fase peripetal akhir drama, dari apa yang tersisa setelah penghapusan, tahap awal lagi, kehadiran simulacrum, sebuah pengakuan ketiadaan di jantung differance dan mimesis.
Sementara dipihak lain Guetti Sama seperti halnya dengan Paul de Man yang membuka analisisnya tentang "antara Sekolah Anak" dengan mengambil pembicara "retorika" pertanyaan "harfiah". Guetti mengusulkan untuk membaca pertanyaan Keats untuk guci yang "bukan sebagai seruan retorika tetapi sebagai ketulusan dan mendesak permintaan untuk informasi. ""Hal ini karena ia tidak mengerti guci, tidak tahu cara membaca pesan sekali disampaikan ... yang Keats harus menanggapi sebagai apa jari akan memanggil sebuah 'objek estetika.'" Puisi ini, kemudian, bukan merupakan deskripsi guci tetapi gambaran dari upaya untuk "membaca" guci tersebut. Konflik antara tata bahasa dan retorika, atau bahasa figuratif, bahwa angka-angka di de Man "semiologi dan Retorika" dan pengulangan dalam "Melawan yang Estetis" sebagai konflik antara estetika dan sastra, adalah pusat untuk Guetti's membacapostruktural. Seperti de Man, ia melakukan analisis formal, pembacaan dekat, tetapi dia mengharapkan teks untuk menolak usaha-usaha menyatukan maknanya.Dengan demikian Guetti menentang Cleant’Brooks's yang menyelaraskan formalisme satu analisa dengan postruktural"baik perlawanan estetika sastra dan perlawanan sastra untuk 'solusi' estetika atau pengelakan.
Di lain pihak argumentasi Yaeger bahwa caranya menemukan membaca novel ini gaya transgresif benar, atau menganugerahkan itu. Tetapi perbedaan genetik adalah sedikit perhatian untuk kebanyakan kritikus postruktural..Dan jika Yaeger adalah seorang kritikus budaya dalam minatnya dalam jenis karya budaya novel dapat dibuat untuk dilakukan, dalam kesempatan ini menawarkan pada kita "untuk membangun citra baru utopis munculnya anti perempuan."Dia seorang kritikus poststruktural dalam desakan bahwa konsepsi novel bahasa adalah kunci untuk artinya.Mendukung pada karya Michel Foucault, Julia Kristeva, Jean Francois Lyotard, dan Jacques Lacan, ia melengkapi analisis postruktural dari novel yang berpusat pada bahasa yang sangat kekurangan membuatnya satu-satunya kendaraan yang memadai.
2. Teori Dekontruksi
Istilah dekonstruksionis merupakan gerakan yang luas dansempit akal. Dalam arti yang luas itu nama suatu gerakan yang membentangjauh melampaui kritik sastra. Dekonstruksi adalahsebuah semboyandalam politik, sejarah ilmu pengetahuan dan hukum, serta dalam studi literatur (Selden, 2008:175).
Derrida menggunakan dekonstruksi kritis yang mengarah pada penemuan sastra retoris, sifat filosofis klaim kebenaran asli cukup dan tidak dapat membantah: literatur ternyata menjadi topik utama filsafat dan modeluntuk jenis kebenaran yang bercita-cita. Filsafat ternyata menjadi tak berujungrefleksi pada kehancuran sendiri di tangan sastra (Selden, 2008:180).
Ariachne(Selden, 2008:186)menuturkan bahwa'dekonstruksi' sebagai prosedur dalam menafsirkan teks-teks tradisi kitabukan hanya menggoda dari jejak-jejak yang heterogenitas dialogis. Dekonstruksi bukan upaya untuk membalikkan hirarki implisit dalamistilah di mana dialogis telah ditentukan. Ia mencoba untuk mendefinisikanmonologis, yang logocentris, sebagai efek yang berasal dari dialogis daripadasebagai penegasan mulia yang dialogis merupakan gangguan, keduabayangan dalam cahaya berasal.
Suroso dan kawan-kawan menjelaskan bahwa kaum poststrukturalis, sekelompok kritikus di Universitas Yale, Amerika Serikat, dengan tokohnya Paul de Man dan J. Hillis Miller, secara tegas menolak pandangan New Criticism.Mereka ingin mendekonstruksikan teks, lalu merekontruksi sebuah teks baru. Mereka berpendapat bahwa:
1. Teks tidaklah mencerminkan kenyataan, tetapi teks membangun kenyataan. Bahasa tidak menghadirkan kenyataan (latar, peristiwa atau kejadian, dan perbuatan tokoh), tetapi bentuk-bentuk bahasa menghadirkan latar, peristiwa, dan perbuatan tokoh hanya dalam angan-angan kita;
2. Sebuah teks merupakan suatu tenunan yang tersusun dari berbagai utas benang. Apabila kita hanya mengikuti satu utas benang, kita mendapatkan kesimpulan yang keliru. Tetapi juga, apabila kita mengikuti berbagai utas benang, kita tidak dapat menentukan arti yang definitif. Kritik menuju ke aporia (bahasa Yunani: ‘tidak ada jalan keluar’), artinya kita tidak mengetahui secara pasti apa jalan ke luarnya, seperti jaringan labirint (terowongan-terowongan gelap dalam sebuah gua). Kritikus tidak menunjukkan jalan ke luar, malahan mengantar kita ke dalam perut bumi sehinggatidak tahu jalan keluarnya. Artinya, hasil kritikan sastra itu justru membingungkan pembaca.
Dekonstruksi mewarnai teori-teori kontemporer, seperti: resepsi sastra, interteks, feminisme, postkolonialisme, dan naratologi postrukturalisme. Ciri khas postrukturalisme adalah dekonstruksi, strukturalisasi sekaligus penyempurnaan terhadap sifat-sifat laten strukturalisme. Strukturalisasi teks kaitannya dengan peranann pembaca, maka dekonstruksi identik dengan resepsi sastra.Pemahaman teks dalam kaitannya dengan ciri-cirinya sebagai jaringan, dekonstruksi identik dengan interteks.Apabila teks dikaitkannya dengan perempuan dan masalah-masalah kolonial, maka dekonstruksi identik dengan feminis dan postkolonial.Demikian juga apabila teks dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, dekonstruksi identik dengan naratologi postrukturalis (Ratna, 2010: 221).
Lebih lanjut Ratna (2010: 223) menyatakan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif.Dimaksudkan bukan dalam pengertian negative sebab tujuan utama tetap konstruksi. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi bukan semata-mata ditujukan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu.Dekonstruksi tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif men-transformasikan hakikat wacana.
Dekonstruksi menolak kemapanan.Menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan makna. Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah kelebihan Dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu objek tanpa batas.Ruang makna terbuka luas. Tafsiran-tafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya.Sehingga, demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekontruktivisme dianggap era matinya makna.Makna menjadi tidak berarti lagi.
Itulah kelemahan Dekonstruksi Derrida. Kelemahan lain adalah:
1. Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi makna. Retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat mengurangi nilai dan obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk ditelaah.
2. Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan apatisme dan ketidakpercayaan terhadap makna.
3. Dekonstruksi tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasa-biasaan pemaknaan dapat dicegah.
Tidak adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil penghancuran makna karena makna-makna baru dianggap lebih bernilai.Padahal, makna-makna lama bukan tidak mungkin justru memberi nilai tambah bagi makna-makna baru.
3. Kebenaran Epistemologis dalam Metode Dekonstruksi
Sebagai upaya metodologis metode dekonstruksi harus memiliki kriteria kebenaransecara epistemologis agar apa yang dilakukannya memiliki keabsahan secara ilmiah.Keabsahan ilmiah pada metode dekonstruksi diawali dengan analisis yang sifatnyasistematis, logis, dan kritis.Ini berarti posisi peneliti memegang peran penting dalampenelitian sastra. Peneliti harus memiliki paradigma (pola berpikir) dan cara berpikirkualitatif (dan kuantitatif apabila diperlukan), induksi–deduksi, rekonstruksi teori(Budianto, 2002: 81). Mengapa harus demikian?Dengan menggunakan metodedekonstruksi, peneliti harus dapat memiliki wawasan atau persepsi ilmiah yang bersifatkomprehensif. Paradigma kualitatif mengajak kita memahami situasi sosial budaya atausituasi lainnya agar diperoleh nilai (values) dan norma tentang situasi tersebut,seperti nilaiestetis, moral, harmoni, kebebasan, konflik dan norma politis, kekuasaan, dan ideologis.Paradigma induktif dan deduktif diperlukan agar keruntutan pemikiran seorang penelitidapat memiliki penalaran (reasoning) yang logis, dapat berpikir secara induktif(mengambil kesimpulan dari premis khusus ke premis umum) dan secara deduktif (menarikkesimpulan dari premis umum ke premis khusus).Paradigma rekonstruksi teori adalahmodel penyelidikan ilmiah yang berusaha membangun, merancang kembali (rekonstruksi)teori atau metode yang telah ada dan digunakan dalam penelitian.Agar modelrekonstruksi teori dapat diterapkan dengan baik, pemilihan dan penguasaan teori tertentuyang dianggap relevan dengan penelitian sangat menunjang keberhasilan penelitiannya.
Ketiga paradigma dasar itu dapat dipakai sebagai model penyelidikan peneliti danmenjadi dasar bagi metode dekonstruksi poststrukturalisme. Metode dekonstruksimembutuhkan cara berpikir peneliti yang komprehensif dan mampu bersikap multidisiplin.Latar belakang, dan situasi sebuah teks sangat beragam dan kompleks.Untuk itu, penelitimembutuhkan pemahaman dan analisis yang komprehensif, khususnya yang berkaitandengan penerapan teori yang terfokus dengan ketiga hal (tulisan, metabahasa,subjektivitas).Dengan demikian, pengukuran kebenaran dalam penerapan metodedekonstruksi terhadap karya sastra terletak pada sistem pembenaran (teori) yang dipakaisehingga pemaknaan dapat diperoleh secara objektif dan kontekstual.Hal itu dapat dibantupada saat pembacaan terhadap teks. Kita dapat terfokus, misalnya, pada (1) karakteristikhierarki (2) pencarian “titik dasar” teks apabila ada suatu proses perubahan pada alurcerita (3) pembentukan norma tertentu apabila terjadi perubahan pada subjek/pelaku cerita(4) pencarian referensi lain di luar isi teks (5) minat mencari hal yang berkaitan dengansubstansial tertentu, misalnya konflik, kontradiksi atau yang dianggap agak berbeda ketikahal itu muncul pada teks, baik secara implisit maupun eksplisit.
B. Model Pembelajaran
1. Orientasi Model
Pembelajaran berdasarkan masalah telah dikenal sejak zaman John Dewey, sebab secara umum pembelajaran berdasarkan masalah terdiri atas menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Menurut Dewey (Trianto, 2007:67), belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respons, merupakan hubungan antara dua arah, belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik. Pengalaman siswa yang diperoleh dari lingkungan akan menjadikan kepadanya bahan dan materi guna memperoleh pengertian dan bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajarnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, pembelajaran berdasarkan masalah (selanjutnya disingkat PBM) didasarkan pada teori psikologi kognitif. Fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa (perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka) pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Walaupun peran guru pada pembelajaran ini kadang melibatkan presentasi dan penjelasan suatu hal, namun yang lebih lazim adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa belajar untuk berpikir dan memecahkan masalah.
PBM juga didasarkan pada konsep konstruktivisme yang dikembangkan oleh ahli psikologi Eropa Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus-menerus berusaha memahami dunia sekitarnya. Rasa ingin tahu ini memotivasi mereka untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang mereka hayati (Ibrahim dan Nur, 2005:16-17). Pandangan konstruktivis-kognitif mengemukakan, siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan mereka tidak statis, tetapi terus-menerus tumbuh dan berubah saat siswa menghadapai pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal. Menurut Piaget, pendidikan yang baik harus melibatkan siswa dengan situasi-situasi yang dapat membuat anak melakukan eksperimen mandiri, dalam arti mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang ia temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain, membandingkan temuannya dengan temuan anak lain (Duckworth, dalam Ibrahim dan Muh. Nur, 2005: 17-18).
Ratumanan (Trianto, 2007) menyatakan PBM juga merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks.
Menurut Arends (Trianto, 2007:68), PBM merupakan pembelajaran yang menuntut siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Model pembelajaran ini juga mengacu pada model pembelajaran yang lain, seperti pembelajaran berdasarkan proyek (project-based instruction), pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-based instruction), belajar otentik (authentic learning), dan pembelajaran bermakna (anchored instruction).
PBM juga bergantung pada konsep lain dari Bruner, scaffolding, yaitu suatu proses yang membuat siswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan (scaffolding) dari seorang guru atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih. Peran dialog juga penting, interaksi sosial di dalam dan di luar sekolah berpengaruh pada perolehan bahasa dan perilaku pemecahan masalah anak.
Sementara itu, PBM mempunyai kaitan erat dengan pembelajaran penemuan (inkuiri). Pada kedua model ini guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif, dan siswa menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Adapun perbedaannya dalam beberapa hal penting, yaitu: sebagian besar pelajaran dalam inkuiri didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan berdasarkan disiplin, dan penyelidikan siswa berlangsung di bawah bimbingan guru dan terbatas di lingkungan kelas. PBM dimulai dengan masalah kehidupan nyata yang bermakna, yang memberi kesempatan kepada siswa dalam memilih dan menentukan penyelidikan apa pun baik di dalam maupun di luar sekolah sejauh itu diperlukan untuk memecahkan masalah (Ibrahim dan Muhammad Nur, 2005: 23).
2. Model Mengajar
a. Sintaksis
PBM terdiri atas 5 (lima) langkah utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima langkah tersebut dijelaskan sebagai berikut.
TAHAP TINGKAH LAKU GURU
1. Orientasi siswa pada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih
2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
3. Membimbing penyelidik-an individual maupun kelompok Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
5. Menganalisis dan meng-evaluasi proses pe-mecahan masalah Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan

Menurut Ibrahim (Trianto, 2007:72) di dalam kelas PBM, peran guru berbeda dengan kelas tradisional. Peran guru dalam kelas PBM antara lain: (1) mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik, yaitu masalah kehidupan nyata sehari-hari; (2) memfasilitasi/membimbing penyelidikan, misalnya melakukan pengamatan atau melakukan eksperimen; (3) memfasilitasi dialog siswa; dan (4) mendukung belajar siswa.
b. Sistem Sosial
Pada model pembelajaran berdasarkan masalah dibutuhkan pengembangan keterampilan kerja sama di antara siswa dan saling membantu untuk menyelidiki masalah secara bersama. Berkenaan dengan hal itu, siswa memerlukan bantuan guru untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas pelaporan.
c. Prinsip Reaksi
Guru membantu siswa dalam pengumpulan informasi dari berbagai sumber dengan jalan diberikan berbagai pertanyaan yang membuat mereka berpikir tentang suatu masalah dan jenis informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut.
Guru mendorong untuk pertukaran ide secara bebas dan penerimaan sepenuhnya ide-ide tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam tahap penyelidikan dalam rangka pembelajaran berdasarkan masalah. Selama penyelidikan, guru memberikan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas siswa. Puncak-puncak proyek PBM adalah penciptaan dan peragaan artifak seperti laporan, poster, model-model fisik, dan video tape.
d. Sistem Penunjang
Hal penting yang harus diketahui adalah bahwa guru perlu memiliki seperangkat aturan yang jelas agar pembelajaran dapat berlangsung tertib tanpa gangguan. Di samping itu, juga agar dapat menangani siswa yang menyimpang secara cepat dan tepat, serta panduan bagaimana mengelola kerja kelompok. Salah satu masalah yang cukup rumit adalah bagaimana guru harus menangani siswa (individu maupun kelompok) yang menyelesaikan tugas lebih awal maupun yang terlambat.
Selain itu, guru sering menggunakan sejumlah bahan dan peralatan, dan hal ini biasanya dapat merepotkan dalam pengelolaaannya. Oleh karena itu, untuk efektivitas kerja, guru harus memiliki aturan dan prosedur yang jelas dalam pengelolaan, penyimpanan, dan pendistribusian bahan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah guru harus menyampaikan aturan, tatakrama/sopan santun yang jelas untuk mengendalikan tingkah laku siswa ketika mereka melakukan penyelidikan di luar kelas, terlebih ketika melakukan penyelidikan di masyarakat.
e. Dampak Instruksional dan Penyerta
Setelah mengikuti pembelajaran ini diharapkan (1) siswa mampu menyelesaikan masalah secara sistematis dan logis, (2) perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor melalui penghayatan secara internal akan problem yang di hadapi.
Hasil-hasil penelitian tentang pemecahan masalah yang dipraktikan dalam kelas dengan masalah berstruktur ill-defined memberikan dampak-dampak sebagai berikut. (1) Penemuan masalah dapat meningkatkan kreativitas. (2) Memotivasi siswa yang menjadikan belajar terasa menyenangkan. (3) Masalah dengan struktur ill-defined membutuhkan keterampilan yang berbeda dengan masalah yang berbentuk standard-problem. (4) Mendorong siswa memahami dan memperoleh hubungan-hubungan masalah dengan disiplin ilmu tertentu. (5) Informasi yang masuk ke dalam memori jangka panjang lebih diperkuat dengan menggunakan masalah yang berstruktur ill-defined (Krulik & Rudnick, 1996).
C. Contoh Penerapan Model Pembelajaran Novel Berdasarkan Pendekatan Dekonstruksi
Perencanaan:
Novel merupakan salah satu genre sastra, selain puisi, cerpen, dan drama. Dalam novel terdapat berbagai nilai kehidupan yang sengaja dihadirkan pengarang. Sebagai pembaca kita harus dapat mengungkapkan nilai-nilai tersebut, agar kita dapat meneladaninya.
Berangkat dari kenyataan yang ada di masyarakat, masih banyak kita temukan seorang gadis yang terpaksa atau dipaksa oleh keadaan atau alasan apa pun, untuk menikahi seseorang yang tidak dicintainya. Kenyataan ini telah tergambar dalam novel Siti Nurbaya.
Dalam hal ini guru sudah merencanakan masalah yang harus dipecahkan siswa yang terkait dengan nilai-nilai yang terkandung dalam novel Siti Nurbaya. Guru sudah memberi tugas kepada siswa untuk membaca novel tersebut maksimal 2 minggu sebelumnya. Guru juga sudah memfasilitasi siswa dengan menunjukkan novel tersebut di perpustakaan sekolah. Dengan demikian, siswa sudah mempunyai gambaran terinci tentang isi novel tersebut.
Tugas Interaktif
Langkah ini terdiri atas 5 (lima) tahap sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu:
Tahap 1: Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yakni mengajak siswa untuk memecahkan berbagai permasalahan melalui pertanyaan yang diajukan berdasarkan isi novel Siti Nurbaya. Pertanyaan tersebut meliputi:
a. Menurut kalian, tema apakah yang terdapat dalam novel Siti Nurbaya?
b. Jika kalian menjadi Siti Nurbaya, layakkah kalian melakukan perkawinan dengan Datuk Maringgih?
c. Dalam benak kalian, Siti Nurbaya itu sosok yang bagaimanakah? Lemah dan patut dikasihani ataukah sebaliknya, dia adalah pahlawan bagi keluarganya?
d. Nilai-nilai apa yang dihadirkan dari tokoh Siti Nurbaya?
e. Gambarkan bagaimana perasaan kalian seandainya kalian menjadi Siti Nurbaya ketika itu. Kalian boleh memerankan salah satu bagian perasaannya di depan kelas. Boleh juga kalian mengungkapkannya secara tertulis.
Dengan lima pertanyaan tersebut, diharapkan siswa memahami masalahnya. Dan agar siswa dapat memahami tugas-tugas atau pertanyaan atau masalah tersebut, guru berusaha memfasilitasi keperluan siswa, termasuk jika ada siswa yang belum memahami dengan baik tugas-tugas mereka. Dengan demikian diharapkan semua siswa merasa terlibat dalam masalah yang dihadapi oleh tokoh dalam novel itu.
Tahap 2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Dalam tahap ini guru membantu siswa untuk membahas adanya tema dan tokoh (utama dan pembantu) dalam novel yang bernama Siti Nurbaya, yang memiliki sifat atau karakter tertentu. Siswa juga diajak membicarakan peristiwa yang dialami oleh Siti Nurbaya yang membuat dia harus menikahi Datuk Maringgih. Peristiwa itu melahirkan cerita yang dalam novel disebut alur atau plot, yang akhirnya juga melahirkan setting, yaitu tempat terjadinya peristiwa tersebut. Tema, tokoh, karakter, plot, dan setting itu dalam karya sastra disebut unsur intrinsik yaitu unsur yang terdapat dalam karya, unsur yang membangun cerita.
Selanjutnya guru mengajak siswa untuk membentuk kelompok agar dapat mendiskusikan berbagai masalah tersebut.
Tahap 3: Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai. Dalam hal ini siswa diberi kebebasan untuk membaca ulang novel tersebut, dan menemukan bagian-bagian tertentu yang mendukung pendapat mereka. Penemuan mereka atas bagian-bagian ini didasarkan pada diskusi yang mereka lakukan dalam kelompok.
Selain itu, dalam kelompok maupun secara individu, guru juga dapat memberikan motivasi mereka untuk melaksanakan eksperimen. Tentu yang dimaksudkan adalah bukan eksperimen di laboratorium, melainkan melakukan pembuatan laporan tertulis ataukah pelatihan-pelatihan yang terkait dengan peran mereka sebagai tokoh Siti Nurbaya. Pendapat mereka tentang sosok Siti Nurbaya dapat mereka putuskan melalui wawancara terhadap pembaca yang lain, misalnya kepala sekolah, guru-guru, atau mungkin kakak kelas.
Tahap 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Dalam hal ini siswa dibimbing untuk menentukan bentuk akhir karya mereka, secara tertulis ataukah bermain peran di depan kelas. Jika mereka memilih memerankan tokoh maka mereka juga harus menunjuk anggota kelompoknya yang akan mewakili. Pemeranan ini didasarkan pada pendapat mereka tentang sosok Siti Nurbaya.
Jika sudah ditentukan bentuk akhirnya, siswa diberi kesempatan untuk membacakan laporannya yang telah ditulis atau memerankan sosok Siti Nurbaya di depan kelas. Pembacaan atau pemeranan dilakukan secara bergantian.
Tahap 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Yang harus dicatat adalah bahwa ketika wakil dari kelompok menyampaikan hasil akhir diskusi mereka, kelompok lain harus memberikan penilaian tentang berfbagai pendapat yang telah disampaikan. Langkah ini penting, agar setelah kegiatan tersebut, guru bersama siswa dapat melakukan refleksi atau evaluasi. Idealnya, guru sudah mempersiapkan kisi-kisi atau format penilaian terlebih dahulu agar siswa dapat memberikan penilaian secara lebih terarah dan objektif. Analisis dan evaluasi sangat penting untuk menentukan keberhasilan siswa dalam memecahkan permasalahan dan untuk melihat kekurangan-kekurangannya agar dapat dijadikan pedoman dalam perbaikannya.
Lingkungan Belajar dan Tugas-tugas Manajemen
Dalam pelaksanaan PBM ini guru harus menerapkan beberapa aturan antara lain.
1. Siswa secara individu sudah harus membaca novel Siti Nurbaya
2. Secara individu pula, siswa harus membuat rangkuman isi novel Siti Nurbaya
3. Siswa diberi kebebasan untuk memilih teman sebagai anggota kelompoknya. Namun, jika tidak memungkinkan karena berbagai hal, guru dapat menentukan kelompok dan anggotanya.
4. Siswa diberi kebebasan untuk memilih cara memecahkan masalah yang diajukan, misalnya melakukan pembacaan ulang novel atau melakukan wawancara, termasuk pembagian tugas kelompok (Dalam hal ini guru hanya memotivasi, bukan ikut campur)
5. Siswa yang akan melakukan wawancara harus sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan mewawancarai dengan baik sesuai dengan etika berwawancara.
6. Siswa diberi kebebasan untuk menentukan bentuk akhir tugasnya, tertulis (berupa laporan) ataukah pemeranan tokoh. Penentuan berdasarkan hasil diskusi kelompok.
7. Siswa harus menyampaikan hasil akhir sesuai waktu yang telah ditentukan guru. Kelompok yang tepat waktu akan diberikan penghargaan, kelompok yang terlambat akan diberikan sanksi yang tidak memberatkan.
8. Siswa harus melakukan penilaian dan refleksi terhadap hasil akhir temannya berdasarkan format penilaian yang disiapkan guru.
9. Siswa yang meminjam berbagai bahan atau sumber dari perpustakaan sekolah berkewajiban menjaga sebaik-baiknya dan mengembalikannya segera setelah tugas berakhir.
10. Kelompok atau individu yang mendapatkan nilai tertinggi akan diberi penghargaan khusus, sesuai dengan situasi dan kondisi.
Evaluasi
Sebagaimana telah dijelaskan dalam tahap-tahap pelaksanaan pembelajaran di atas, tampak bahwa PBM tidak mengutamakan perhatian pada pengetahuan deklaratif. Oleh karena itu penilaian yang dipilih bukan berupa tes tertulis yang memenuhi ranah kognitif saja. Teknik penilaian yang dipilih adalah menilai hasil pekerjaan siswa yang merupakan hasil diskusi atau penyelidikan mereka, melalui penilaian kinerja dan peragaan hasil.
Kunci jawaban: (Sebagai contoh jawaban perkiraan siswa)
Sebagian besar kita beranggapan bahwa tema dasar novel Siti Nurbaya adalah kawin paksa. Dengan demikian citra yang dihadirkan pembaca terhadap tokoh utama (Siti Nurbaya) adalah perempuan lemah, memelas, perlu dikasihani, dan sebagainya. Namun, jika kita simak lebih saksama maka akan terungkap nilai-nilai luhur yang dicontohkan. Pertama, pengorbanan seorang anak terhadap kepentingan keluarganya. Demi menjaga kehormatan ayahnya yang tenggelam dalam hutang, Siti Nurbaya menikahi Datuk Maringgih. Kedua, di saat ayah Nurbaya tiba-tiba wafat, dia secara fisik melemparkan suaminya keluar rumah sesuai hukum adat setempat adalah milik isteri. Dengan demikian, ia rela mengorbankan kepentingan pribadinya demi kehormatan keluarganya, tetapi dengan tegas dia melaksanakan apa yang menjadi haknya bila saatnya tiba. Tentu saja pembahasan ini akan menimbulkan berbagai pendapat yang menarik untuk didiskusikan.
Catatan: Jawaban siswa bisa berbeda atau mirip dengan jawaban di atas. Yang dipentingkan adalah alasan atau argumen yang disampaikan siswa dalam hal mendukung pendapat mereka.

Daftar Pustaka
Arends, R.I. 2007. Classroom Instruction and Management. New-York: McGraw-Hill.

Asrori. M. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima

Benedikt, M. 1991.Deconstructing The Kimbell: An Essay on meaning and Architecture, New York: Site Books.
Budianto, I.M.2002.Realitas dan Objektivitas. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Johnson, E. B., 2007. Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiattan Belajar-mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: MLC
Ibrahim, M., dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
Ibrahim dan Nur, M. 2005. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press.
K. Given, Barbara. 2007. Brain-Based Teaching: Merancang Kegiatan Belajar-Mengajar yang Melibatkan Otak Emosional, Sosial, Kognitif, Kinesttetis, dan Reflektif. Bandung: Kaifa
Khabibah, S. 2006. “Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Soal Terbuka untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa MI” .Disertasi. Surabaya: Program Pascasarjana Unesa.

Keesry, D. 1994. Context for Criticism. USA Mountain View: Mayfield Publishing Company.

Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1996.The new sourcebook for teacing reasoning and problem solving in Junior and Senior High School. Boston: Allyn and Bacon.

Komarudin. 2005. “Langkah-langkah Praktik Belajar Pengetahuan Sosial/Pembelajaran Portofolio”. Makalah Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Fasilitator Guru Bidang Studi IPS MTs Tingkat Nasional, Diselenggarakan oleh Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI.
Marineau, C. 1999. “Self-Assessment at Work: Self-Outcomes of Adult Learner’s Reflection on Practise”. Adult Education Quarterly. Spring.
Oemarjati, B.S. 1996. “Dengan Sastra Mencerdaskan Siswa” dalam Sumardi (ed). Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ratna, N.K. 2010.Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Sanjaya, W. 2010.Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana

Selden, R. 2008. The Cambridge History of Literary Criticism from Formalism to Poststructuralism. United Kingdom: Cambridge University Press.

Suroso, dkk. 2009. Kritik Sastra (Teori, Metodologi, dan Aplikasi). Jogjakarta: Elmatera Publishing

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya: Prestasi Pustaka Publisher.
Woods, D. 1985. “Problem-Based Learning and Problem Solving” in D. Boud (ed). Problem-Based Learning for Professions. Sydney: HERDSA.

http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/20/kritik-teori-dekonstruksi-derrida/

Senin, 31 Oktober 2011

PENDALAMAN PROTOKOLER

A.    PENDAHULUAN.
Setiap kita mendengar kata “PROTOKOLER” maka pada umumnya yang terlintas dipikiran kita adalah seorang yang berdiri dihadapan mike sambil memandu suatu acara (Master of Ceremony)
Gambaran tersebut tidak salah, akan tetapi belum menjawab arti tentang PROTOKOL tersebut secara lengkap, sebab tidak hanya terbatas mengenai berlangsungnya acara saja. Namun itu hanyalah merupakan salah satu aspek dari PROTOKOL.

B.     PENGERTIAN

Istilah PROTOKOL berasal dari bahasa latin yaitu Protokolum. Sedangkan bahasa aslinya berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu :
Þ    Protos yang berarti pertama
Þ    Kolla yang berarti melekat
Pada mulanya pengertian PROTOKOL adalah lembar pertama yang diletakkan pada suatu dokumen yang biasanya bersisi suatu tata tertib / tata cara.
Adapun pengertian PROTOKOL dalam arti yang lebih khusus adalah yang sering kita lihat yang berkaitan dengan segala kebutuhan yang bersangkut paut dengan suatu kegiatan, mulai dari sebelum kegiatan berlangsung sampai pada pelaksanaan suatau acara.

C.    PENTINGNYA PROTOKOL
Didalam setiap mengorganisir suatu acara baik resmi ataupun tidak resmi, PROTOKOL memegang peranan yang sangat penting demi suksesnya acara tersebut, apalagi menyangkut hubungan dengan pejabat.
Sehingga gagal atau suksesnya suatu acara semata-mata tergantung pada salah satu benarnya PROTOKOL dalam usaha tersebut. Didalam PROTOKOL yang dipergunakan terdapat 2 (dua) unsur penting yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
1.       Tata cara / tata usaha
Didalam setiap acara resmi maupun tidak resmi akan selalu diupayakan untuk dilaksanakan dengan hikmat, megah dan agung. Dalam perbuatan atau tindakan yang dilakukan selalu berdasarkan aturan yang telah dilakukan. Aturan tersebut berupa urutan atau tata cara yang harus dipersiapkan sebelum kegiatan dilaksanakan sampai pada pelaksanaan suatu acara, meliputi :
a.       Pembentukan Panitia.
b.      Pembuatan Proposal
c.       Undangan, siapa yang diundang, jumlah yang diundang harus disesuaikan dengan kapasitas tempat, undangan VIP dan biasa.
d.      Pemberitahuan
e.       Surat Izin.
f.       Pengaturan tempat, letak jarak kursi, podium harus disesuaikan dengan klasifikasi undangan, jangan sampai podium membelakangi undangan, tempat duduk perlu diberi tanda untuk memudahkan undangan duduk.
g.      Pengaturan lampu, diatur yang tepat dan dipilih tempat-tempat yang strategis.
h.      Pengaturan Dekorasi, hiasan dekorasi merupakan penjelasan disingkat pada acara tersebut, tulisan singkat mudah dibaca dan dimengerti. Tempatkan dekorasi pada tempat yang sekiranya semua hadirin dapat membaca.
i.        Louds Speaker (Sound System) diusahakan semua undangan dapat mendengarkan dengan jelas.
j.        Penerima tamu, haruslah dicarikan orang yang luwes, berpakaian sopan, rapih, ramah agar dapat menimbulkan kesan yang baik kepada tamu undangannya sekaligus menunjukkan tempat mana yang harus ditempati, jika tamu itu orang mulia hendaknya jika pulang diantarkan sampai pintu gerbang, usahakan jangan sampai mengusir tamu yang sudah duduk, akibatnya akan merusak perasaan, maka untuk menghindari itu diberi tanda tulisan sebagai petunjuk.
  1. Tata Laksana berlangsungnya acara.
2.      Susunan acara, dapat disesuaikan dengan kebutuhan (sesuai acaranya )
3.      Mengkondisikan petugas yang akan tampil.
4.      Pengaturan waktu maksimal + 5 jam.
Salah satu bagian yang paling penting pada berlangsungnya acara adalah petugas MC (Master of Ceremony). Sehingga perlu ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan untuk menjadi petugas MC yang baik dan benar :
1.      Percaya diri (PD)
2.      Suara yang bagus
3.      Kreatif
4.      Berpengalaman
5.      Bahasa, Vokal dan intonasi harus jelas dan benar
6.      Penampilan
7.      Harus membawa teks
Dari penjelasan tersebut diatas petugas MC mempunyai fungsi yang penting. Bagi kelancaran tugas seorang PROTOKOL  sehingga dua unsur ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.


D.    SYARAT-SYARAT TEKNIS UNTUK MENJADI PEMBAWA ACARA YANG BAIK

1.      Menguasai acara (tertib acara)
Setiap pembawa acara harus menguasi acara sepenuhnya, agar acara dapat benar-benar berjalan sesuai dengan urutan atau sistematika yang semestinya. Dengan penguasaan acara dimungkinkan tidak terjadi tumpang tindih, mana yang semestinya di awal dan mana yang semestinya di akhir.
2.      Bahasa
a.       Kalimat/kata/logat/naskah untuk announcing disusun dengan kalimat berdasarkan tata bahasa Indonesia. Jangan terlalu menggunakan kalimat yang terlalu panjang. Kata-kata yang dipakai tepat dan dapat dipahami oleh hadirin. Dalam pelaksanaan pembawa acara logat bahasa Indonesia cukup indah didengar. Jangan menggunakan bahasa Indonesia dengan logat bahasa Belanda atau bahasa lainnya.
b.      Artikulasi
Artikulasi semua vokal dan konsonan diucapkan tidak ada yang dikurangi dan ditambah. Semua huruf dibaca sesuai dengan bunyinya. Misalnya, Kata “dengan” jangan dibaca “dengen” kata “mempertahankan” jangan dibaca “mempertahanken”.
c.       Semua kekurangan dalam pembicaraan diejakan.
d.      Susunan kalimat dan kata-kata yang dipergunakan disesuaikan dengan keadaan hadirin. Misalnya orang-orang tua atau anak-anak muda atau kanak-kanak. Bahasa yang digunakan di hadapan anak-anak tentunya berlainan dengan bahasa untuk orang tua. Ada istilah kekanak-kanakan, istilah remaja, kalimat feminim, kalimat tegas, jelas, maskulin, penggunaannya harus benar-benar disesuaikan.
e.       Jika menggunakan kata-kata asing hendaknya cara menggunakannya yang benar, jangan sampai salah.

3.      Suara (vokal)
  1. Sebaiknya suara memiliki suara microphone
  2. Suara harus pada mulut paling depan dan diucapkan terang dan jelas. Untuk orang Indonesia tidak sulit, karena kata-kata dalam Bahasa Indonesia diucapkan dengan huruf terbuka.
  3. Dengan berbicara pada bagian mulut terdepan disertai artikulasi yang baik akan menimbulkan resonansi (gema) yang baik.

4.       Nafas
Nafas dan suara manusia bersangkut paut. Nafas hendaknya diatur, berhenti pada koma dan titik. Jangan sampai nafas terdengar.

5.       Kepribadian/Personality.
Seyogyanya anda tampil wajar dan jauhkan dari kesan dibuat-buat, jadilah diri anda sendiri dan jangan meniru kepribadian orang lain.

6.       Penggunaan Alat Pengeras Suara
a.       Mike mempunyai peranan yang sangat penting untuk membawakan acara. Mike bukan hanya alat teknis. Mike adalah alat yang artistik seperti instrumen musik bahkan dapat memperindah suara manusia.
b.      Jangan berbicara terlalu dekat dengan mike. Jarak yang baik kurang lebih 20 cm. Terlalu dekat akan mengakibatkan suara seperti ledakan, meskipun demikian hasil suara tergantung dari kualitas mikrophonenya.

7.       Berbagai Cara Penggunaan Mike
a. On Mike                         - Berbicara didepan mike secara biasa
b. Off Mike                        - Berbicara disamping mike karena suara diperkeras
c. Going On Mike              - Berbicara dari dekat menjauhi mike. Mike yang baik
        untuk membawa acara adalah sensitif dan merupakan 
        omnidirection mike yang dapat digunakan dari segala
        arah.


8.       Membawakan acara sesuai dengan acara yang telah ditentukan.
Untuk acara resmi tentunya membawakannya lain dengan acara hiburan. Untuk acara hiburan dapat diberi ulasan dan dibumbuhi sehingga menarik.

9.       Dengan cepat mencari jalan keluar apabila menghadapi kemacetan suara.
      Antara acara yang satu dengan yang lainnya harus ada kontinuitas.

10.   Disiplin waktu adalah sangat mutlak


E.     PANCARAN KEPRIBADIAN (PROJECTION MOF PERSONALITY)

Pembawa acara dalam melaksanakan tugasnya diukur dari pancaran kepribadiannya. Pancaran kepribadian tersebut titik beratnya adalah penampilan (appearance). Penampilan itu merupakan bentuk, citra diri seseorang, karena penampilan merupakan sarana komunikasi antara kita dengan orang lain. Seseorang yang tampil menarik adalah salah satu kunci sukses pembawa acara.
            Beberapa factor penunjang penampilan seseorang untuk memantapkan rasa percaya diri adalah :
1.      Sikap yang luwes, tapi menarik (adbtability).
2.      Bergaya wajar, tanpa dibuat-buat (Naturalness).
3.      Ramah tamah / akrab (Friendliness).
4.      Ekspresi muka dalam menghadapi audience (pandangan mata dan sikap kepala).
5.      Kebersihan dan kerapihan.
6.      Kesungguhan, kejujuran (sincerity).

F.     MENGATASI RASA GUGUP

Untuk mengatasi rasa gugup disarankan hal-hal sebagai berikut.
1.      Kuasailah materi yang akan disajikan dengan sebaik-baiknya betul-betul mantap.
2.      Yakinlah akan penampilan anda terutama cara berbusana dan kebersihan badan.
3.      Berbaurlah dengan para undangan sebelumnya, supaya tidak merasa asing terhadap mereka, yang nanti akan mendengarkan anda.
4.      Kalau perlu minumlah air putih sebelum bertugas.
5.      Perlu diperhatikan bahwa bukan hanya pidato yang penting, tetapi juga persiapan yang matang serta kemampuan untuk mengatasi sistuasi yang mendadak.
6.      Displin diri merupakan salah satu hal yang harus dimiliki dalam menjalankan tugas.
7.      Hindarilah sikap berlebihan dan rasa lekas puas.
8.      Public Speaking bukanlah suatu kepandaian yang semata-mata diwariskan, melainkan juga suatu hasil kerja kerras dan hasil dari mengumpulkan informasi dengan cara mendengarkan dari pihak-pihak lain.
9.      Berdoalah ke hadlirat Allah swt.

G.    PERANAN PEMBAWA ACARA

Berbagai sektor kegiatan dalam dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat, berorganisasi dan berkeluarga umumnya terdapat peristiwa-peristiwa yang memerlukan persiapan, perencanaan, pelaksanaan, yang akan mempertaruhkan nama baik dan kewibawaannya.
Peristiwa tersebut terjadi, mengingat sesuatu kebutuhan yang telah direncanakan sebelumnya, misalnya ; perayaan dll. Dalam peristiwa tersebut diperlukan seseorang yang paling menonjol untuk menyalurkan segala sesuatu yang telah direncanakannya, seseorang itu dinamakan Pembawa Acara.
Pembawa Acara atau Announcer dalam suatu acara amat penting peranannya, tidak jarang suksesnya acara ditentukan oleh keberhasilan Pembawa Acara dan Pembawa Acara itu adalah merupakan salah satu bagian daripada tugas-tugas protokol dan ia disebut sebagai pengatur tertib jalannya acara. Oleh karenanya harus memiliki kategori “Qualifien”.

H.    TUGAS POKOK PEMBAWA ACARA

1.      Bertugas mengumumkan acara yang akan berjalan.
2.      Bertugas memberikan perhatian hadirin untuk mengikuti jalannya acara.
3.      Bertugas mengatasi hambatan-hambatan jalannya acara dan bertanggung jawab agar acara tetap berjalan dangan lancar.
Penjelasan
1.      Bertugas mengumumkan acara yang akan berjalan.
Ia adalah seorang yang mengetahui dengan baik dan mampu mengumumkan acara-acara yang akan berlangsung. Sebelum bertugas seorang pembawa acara wajib mempelajari keseluruhan acara yang akan berlangsung.
Sebagai pengetahuan, membawa acara termasuk bagian dari ilmu “Public Speaking” atau berbicara dengan orang banyak “ Annauncer”. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “Pembawa Acara”. Pengetahuan membawakan acara perlu ditunjang oleh ilmu pengetahuan lainnya, diantaranya bahasa, psikologi, sosiologi, etika dan sebagainya.
Setiap orang dapat belajar membawakan acara, karena pada dasarnya membawakan acara adalah kemampuan bercakap-cakap. Yang paling penting dalam membawakan acara adalah memiliki microphone voice, sedangkan suara adalah anugerah Tuhan dan suara seseorang itu dciptakan oleh Tuhan dengan bentuk dan  warna yang berbeda sejak manusia itu lahir.
Dalam membawakan acara, apakah suara kita enak terdengar setelah melalui alat pengeras suara (microphone). Dengan demikian tak dapat disangkal lagi bila dikatakan bahwa suara adalah pantulan dari kepribadian seseorang, suara yang baik, diucapkan secara simpatik, jelas dan lengkap akan menarik perhatian hadirin.

2.      Bertugas menarik perhatian hadirin untuk mengikuti jalannya acara. Sebagai seorang pembawa acara yang baik dia harus dapat menarik perhatian hadirin atau undangan. Maksudnya, hadirin akan tertarik dengan penampilan pembawa acara, dari apa yang terlihat dan dari apa yang didengar.

a.      Yang terlihat
- Pakaian                     : Harus serasi, nyaman dipandang.
- Dandanan                 : Enak dipandang, tidak menyolok.
- Wajah                        : Segar, gembira dan ramah.
- Gerakan                    : Wajar, serasi dan sopan.
- Pembawaan               : Tenang, berwibawa, simpatik dan mengesankan.

b.     Yang didengar
- Suara                         : Lunak, lemes dan wajar.
- Bahasa                      : Mudah dimengerti
- Jelas didengar          
- Benar ucapannya     
- Menggema

3.      Bertugas mengatasi hambatan-hambatan jalannya acara dan bertanggung jawab agar acara tetap berjalan dengan lancar. Sebagai pembawa acara yang baik, selain dapat bertugas mengumumkan acara yang sedang dan akan berjalan, ia harus dapat menarik perhatian hadirin. Ia juga harus dapat mengatasi hambatan-hambatan / kemacetan acara dan dapat mengisi kekosongan acara.
Dilapangan tidak semua acara selalu bersih dan berjalan lancar. Karena dapat terjadi hal-hal yang tidak terduga yang merupakan hambatan bagi kelancaran suara. Seorang pembawa acara harus mampu mengatasi dan bagi pendengar atau hadirin selalu dijaga agar tidak merasakan telah terjadi hambatan. Dengan demikian seorang pembawa acara harus memiliki pengalaman dan pengetahuan serta latihan-latihan secara rutin.
Beberapa cara untuk mengatasi hambatan ;
Untuk mengisi kekosongan waktu pada suatu acara, dengan :
  1. Pembawa acara harus peka / cepat tanggap terhadap suatu masalah.
  2. Pandai berbicara, dapat dengan segera mengisi kekosongan acara tersebut.
  3. Dapat menguasi massa / hadirin.

I.       TUGAS PEMBAWA ACARA SECARA UMUM

1.      Dilihat dari segi sistematika

a.       Menyusun acara

b.      Mengecek pengeras suara
c.       Mengecek kesiapan acara
d.      Mengecek kehadiran
e.       Membawakan acara
f.       Menyimak jalannya acara
g.      Mengendalikan acara
h.      Menguasai dan mengatur hadirin
i.        Memperhatikan :

1.      Isyarat

2.      Ungkapan

3.      Emosi

2.      Dilihat dari segi isi
a.       Pembawa acara mengumumkan acara-acara menurut aturan dan saat yang telah ditentukan demi tertibnya upacara/acara.
b.      Seorang pembawa acara harus mempunyai suara yang baik, terang dan paham akan maksud, tujuan dan pelaksanaan acara.
c.       Dalam mengantarkan acara dipergunakan uraian-uraian yang bersifat lebih  menghormati daripada bersifat perintah.
d.      Pembawa acara pada waktu membawakan acara harus benar-benar sesuai dengan acara yang dibawakannya (hiburan, peringatan, ulang tahun dan lain-lain).
e.       Uraian pembawa acara hanya untuk mengantarkan acara-acara pokok / penting saja, jadi tidak semua gerakan dicontohkan oleh Pembawa Acara.

J.      FAKTOR UTAMA BAGI PEMBAWA ACARA

Seseorang yang telah menggeluti bidang ini atau akan diarahkan / dibina serta yang berkeinginan menjadi Pembawa Acara yang qualifed / professional (berpengalaman) dilandasi oleh beberapa faktor, yaitu :
1.      Pembawaan Kelahiran
2.      Ilmu Pengetahuan/Knowledge
3.      Penampilan/Appearance
4.      Faktor Suara
5.      Konsentrasi
6.      Koordinasi
7.      Disiplin

Penjelasan :
1.    Pembawaan Kelahiran
Pembawaan kelahiran atau warisan biologis disebut juga “watak”. Watak adalah bagian dari kepribadian seseorang. Watak itu sesuatu keseluruhan dari sifat-sifat atau cirri-ciri dan dorongan-dorongan yang telah tertentu. Bapak Ki Hajar Dewantara menyatakan : “Watak terjadi karena perkembangan dasar yang telah terkena pengaruh ajar yang dinamakan dasar yaitu bekal hidup atau bakat dari alam sebelum lahir yang sudah menjadi satu dengan kodrat hidupnya anak, sedangkan yang disebut ajar yatiu segala sifat pendidikan dan pengajaran mulai anak dalam kandungan ibu hingga akil baligh ayng bias mewujudkan intelligible yakni tabi’at sedangkan tabi’at merupakan bagian dari kepribadian. Jadi watakpun merupakan bagian dari kepribadian. Watak manusia yang menjadi pembawaan seseorang yang alngsung dipengaruhi oleh warisan pembawaan kelahiran ada tiga macam, yaitu : Perangai, Iteligensi, dan Bakat.

a.      Perangai
Perangai seseorang terbagi dalam empat klasifikasi, yaitu :
1)      Sanguinis             : Optimis, Gembira, giat.
2)      Phlegmatis          : Berperangai dingin /lesu
3)      Choleris               : Lekas marah
4)      Melancholis         : Pesimis dan sayu
Perangai masih belum meliputi seluruh tabi’at / watak manusia malahan jauh daripada itu. Perangai tidak menentukan sifat-sifat seseorang seperti : sifat Altruis (ingat kepada orang lain), Sifat Egois (mementingkan diri sendiri).

b.        Inteligensi Kemampuan
Inteligensi ini ada hubungannya dengan warisan biologis yang menjadi pembawaan seseorang, hal  ini nyata sekali kalau diperhatikan ada anak yang dilahirkan selalu demikian, malahan dengan potensinya untuk menjadi inteligensi. Inteligensi ini adalah merupakan potensi umum. Ini merupakan perkembangan yang lurus kepada perwujudan inteligensi. Secara alamiah dapat ditemukan beberapa kenyataan, yaitu : pada orang yang berjiwa pandir sering dijumpai sifat-sifat yang baik seperti kejujuran, kesetiaan dan kemurahan hati, sedangkan pada orang yang amat inteligensi kadang-kadang dapat dilihat sifat-sifat yang jelek yaitu menyimpang dari kaidah-kaidah kesulitan.

c.         Bakat
Bakat ada hubungannya dengan warisan biologis, hal ini dapat dilihat dengan jelas pada anak-anak yang berbakat. Bakat memerlukan perkembangan, misalnya dengan pendidikan, latihan dan belajar. Bakat merupakan unsur kepribadian atau watak seseorang yang penting, lain halnya dengan perangai dan iteligensi.
Dari uraian tentang perangai, inteligensi dan bakat maka watak dapat disimpulkan yaitu merupakan keseluruhan sifat-sifat seseorang tidak lepas dari situasi, kondisi dan lingkungan sekelilingnya.

2.        Ilmu Pengetahuan / knowledge
Seseorang pembawa acara harus memiliki dasar pendidikan khusus maupun umum. Hal itu dapat diperoleh dengan mengikuti kursus-kursus, membaca Koran / majalah, melihat siaran televisi /radio khususnya siaran berita dan lain sebagainya agar baginya memiliki suatu kemampuan oleh karena tanpa itu maka amat sukar menjadi pembawa acara yang baik dan benar serta sebutan istilah baik di dalam pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan merupakan tolok ukur ilmu pengetahuan, karena sesutau yang diucapkan pembawa acara, langsung mengenai harkat, derajat dan martabat seseorang.

3.        Penampilan / Appearance
Penampilan bagi pembawa acara adalah harus dapat menciptakan kepercayaan bagi hadirin terhadap dirinya. Faktor yang harus diperhatikan  oleh pembawa acara dalam hal penampilan adalah make up, penggunaan pakaian, gaya dan pengucapan.
Di bawah ini uraian tentang hal tersebut sebagai berikut :
a.         Make Up
Dalam menggunakan make up kita harus dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, malam, siang dan pagi.
b.        Pakaian.
Kita harus dapat menyesuaikan diri dalam acara mengenakan pakaian, resmi / tidak resmi, warna pakaian, suasana pagi, siang dan malam.
c.         Gaya
Gaya adalah suatu bentuk gerakan bagi si pembawa acara dalam posisi berdiri, berjalan, diam, berbicara. Bila kita bersemangat tentu pendengar juga semangat, dan ini diukur dari volume suara yang akan menumbuhkan daya tarik si pendengar. Berusahalah untuk menyesuaikan diri dengan audiens karena pembawa acara merupakan show window / tempat mempertontonkan contoh.

4.        Pengucapan /Pronounciation
Pengucapan / penyampaian ide adalah merupakan teknik  membawa / menyampaikan suatu aspirasi / ide yang di dalamnya harus di lukiskan dalam bentuk inspirasi, hakikat membentuk pola intonasi adalah untuk menonjolkan sesuatu yang dipandang lebih penting dari pada bagian lain. Juga diperlukan kemahiran dalam penggunaan bahasa, teknik, gaya pembawaan yang baik bebas dari logat daerah yang memiliki gaya persuasif (meyakinkan dalam membawakannya).

5.        Faktor suara
Volume suara dalam membawakan acara, berpidato dan berbicara santai amat berbeda, adapun faktor suara yang dibutuhkan adalah sebagai berikut :
a.       Suara dikumandangkan jelas dan mengandung arti bagi si pendengar.
b.      Suara yang dikumandangkan harus dapat menciptakan suasana yang menyenangkan.
c.       Suara yang dikumandangkan mampu menjiwai isi yang diutarakan dan lebih daripada itu dapat dijiwai oleh pembawa acara.
d.      Volume suara yang dikumandangkan amat tergantung dari isi.
Pembawa acara harus pandai mengatur jarak antara mulut dan microphone dan dapat dilakukan dari berbagai jarak / arah.

6.        Konsentrasi
Seorang pembawa acara pada saat bertugas hendaknya konsentrasi betul-betul diterapkan dalam dirinya dan prinsip pemusatan pikiran di mana dia saat ini, apa yang akan diucapkan kelak, apa yang terjadi setelah pengucapan itu dan mengetahui bagaimana akhir perbuatannya itu. Konsentrasi juga akan membentuk rasa tanggung jawab yang tinggi, hindarkan senda gurau yang tidak berarti karena hal itu akan merusak konsentrasi.

7.        Koordinasi
Koordinasi ini dilakukan dengan pemeran lainnya seperti bagian peralatan, konsumsi, penerima tamu, pelaku dan personal lain yang merupakan patner pembawa acara untuk menciptakan suksesnya acara. Koordinasi di dalam gerakannya terdapat empat sekotr yaitu :
a.       Reporting ( dari bawahan kepada atasan).
b.      Konsultasi (antara sesama).
c.       Intruksi (dari atasan kepada bawahan).
d.      Terinformasi ( smua pihak).

8.        Disiplin
Disiplin dalam pengertian khususnya adalah tertib dan taat, dan mempunyai pengembangan yaitu :
a.         Tentang kehadiran (jam J-1)
b.        Tentang ketaatan dalam membawa acara yang telah disusun dan disahkan.
c.         Tentang hierarkhis kepada siapa ia bertanggung jawab dan tata atas perintah, karena bila semua orang dapat mengomandonya maka acara yang telah disusun dan disahkan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
d.        Berpakaian harus tertib sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

K.    ASPEK MENTAL DAN SEORANG PEMBAWA ACARA.
            Terdapat dua aspek utama dalam MC / pembawa acara yaitu :
1.      Segi Mental
2.      Segi Fisik

Penjelasan :
1.      Segi Mental / Non Fisik
a.       Dapat dikatakan bahwa tugas utama MC merupakan panggilan lahir dan batin, kemudian dikembangkan dalam suatu profesi yang mantap tapi juga akan berhasil melalui latihan yang tekun.
b.      Perlu memiliki suara yang baik, tenang, paham akan maksud dan tujuan pelaksanaan acara agar mengenai sasaran rasa santai dan canda (Sense of Humor).
c.       Hal ihwal sopan santun (etiket). Penampilan harus tetap dijaga dan meyakinkan. Perhatikan posisi berdiri, duduk agar tampil baik dan meyakinkan.
2.      Segi Fisik
a.       MC tidak dibenarkan menyebutkan tamu satu persatu kecuali tamu VIP (Very Important Person)
b.      Tidak dibenarkan memberikan ulasan / komentar atau tanggapan terhadap hal yang telah dikatakan oleh pembicara lain.
c.       Tidak berdiri sendiri dalam menjalankan tugasnya, melainkan banyak tergantung pada “Team Work” dengan anggota panitia lainnya.
d.      Perlu Giat mengumpulkan data yang mendukung suatu acara, dan dalam mengumpulkan data harus berusaha sendiri mengambil inisiatif (tidak menunggu datangnya data secara Pasif).

L.     PENUTUP

Demikian catatan singkat yang bisa kami sampaikan, sehingga motivasi serta dorongan dalam upaya meningkatkan SDM utamanya dalam bidang PROTOKOL. Kami menyadari kelemahan dan keterbatasan kemampuan yang ada pada diri penulis, sehingga pasti terjadi banyak kekurangannya. Untuk itu mohon dimaafkan.